4. MakYong : Cerita

Attayaya Butang Emas on 2010-01-30

Cerita-cerita dalam MakYong

Sebagai seni pertunjukkan, makyong memainkan cerita-cerita. Cerita dalam seni pertunjukkan MakYong ini, antara lain, disenaraikan ini.

  • Raja besar terdiri atas rangkaian (1) Raja Besar, (2) Raja Gondang dan (3) Raja Bungsu Sakti
  • Wak Perambun atau Perak Seton atau Sepancung Daun
  • Wak Peran Hutan
  • Raja Lak Kenarung atau Berma Sakti
  • Megat Sakti
  • Temenggung Era Wangsa
  • Puteri Mayang Emas
  • Puteri Ratena Emas
  • Timun Muda
  • Raja Bijak Laksana
  • Selindung Bulan atau Nenek Dang Daru atau Cahaya Bulan
  • Dan lain-lain




More about4. MakYong : Cerita

4. MakYong : Penokohan

Attayaya Butang Emas on 2010-01-28

-Penokohan

Tokoh-tokoh pemegang peranan dalam seni pertunjukkan Makyong adalah sebagai berikut:
  • Pak Yong
  • Pak Yong Muda
  • Makyong
  • Puteri
  • Awang
  • Inang Pengasuh
  • Inang Tua
  • Hulubalang
  • Mamak-mamak
  • Dan lain-lain







More about4. MakYong : Penokohan

4. MakYong : Dalam Catatan

Attayaya Butang Emas on 2010-01-26

Makyong dalam Catatan

Cukup banyak catatan tentang Makyong dibuat oleh seorang penulis Riau yang telah mengarang Syair Perkawinan Anak Kapitan Cina. Karya ditulis oleh Encik Abdullah pada 1277 Sanah Hijriyah atau tahun 1860 Masehi di Pulau Penyengat ini, antara lain, menggambarkan suatu upacara perkawinan besar-besaran seorang anak kapitan Cina yang karena perhubungan baiknya dengan penguasa Melayu (Engkau Puteri Raja Hamidah) dirayakan dengan cara Melayu di salah satu pusat Kerajaan Riau-Lingga. Beberapa petikan disajikan berikut ini.

………………………………………………………
Menyuruhkan orang membuat panggung
Serta berbuat bangsal makyong
Suatu tempat orang menyabung
Wayang kulitnya dua panggung

Siang dan malam barmain wayang
Orangnya ramai bukan kepalang
Makyong menari joget menembang
Sekalian melihat hatinya bimbang
Sekalian orang disuruh kampungkan
Pelantar yang buruk disuruh buatkan
Menyuruh berhadir segala kelengkapan

Demikian perintah permaisuri
Di hadapan selasar makyong menari
Said Husin muda bestari
Dialah memerintah di dalam puri

Orang melihat terlalu banyak
Hendak menanti orang berarak
Melihat makyong sudahlah jelak
Hendak melihat pengantin pulak
Seketika duduk bermohon keluar
Serta berjalan turun ke selasar
Melihat makyong menari berbanjar
Kapitan melihat terlalu gemar

Baginda menari memberi titah
Orang kita baiklah dikerah
Selain makyong suruh bawalah
Aturkan betul janganlah salah

Kemudian nasik berastakona
Diusung oleh muda teruna
Kemudian bandangan lebing sempurna
Serta makyong dengan penjawatnya
Makyong menari sambil berjalan
Serta menari sambil berjalan
Serta dengan bunyi-bunyian
Orang melihat berlari-larian
Ada laki-laki ada perempuan


Dari petikan di atas dapat diketahui bahwa seni pertunjukkan Makyong pada tahun 1860, telah menunjukkan betapa Makyong begitu diminati dan terkenal.
Untuk tempat bermain Makyong dibuatkan suatu tempat khusus yang disebut bangsal. Dan, yang dimaksud dengan permaisuri ialah Engkau Puteri Raja Hamidah, yang mengadakan perhelaan perkawinan anak kapitan Cina Tanjungpinang dengan dilaksanakan secara Melayu di Pulau Penyengat yang pada masa itu menjadi tempat kedudukan resmi para Yamtuan Muda Riau.




More about4. MakYong : Dalam Catatan

4. MakYong

Attayaya Butang Emas on 2010-01-24

Menurut kisah yang diceritakan Pak Man (Abdul Rahman di Mantang, Arang, Kabupaten Kepulauan Riau pada 1972), seni pertunjukkan Makyong berasal dari tiruan permainan yang dilakonkan oleh harimau jadi-jadian. Beginilah kisahnya.

“suatu hari adalah lelaki yang pergi masuk hutan dan tersesat. Untunglah ia berjumpa sebuah kampung dan orang yang tinggal di ujung kampung itu, berbaik hati mengajaknya bermalam di pondoknya. Setelah selesai makan, tuan rumah berpesan, “Jangan kemana-mana. Jangan pergi ke luar rumah. Tutup pintu-tingkap dan tidurlah, saya ada kerja sedikit”. Hari pun malam. Begitu hari malam. Orang kampng itu berubah menjadi (ha)rimau semuanya. Lalu terdengar bunyi gong dan tambur, amatlah bagus bunyinya. Orang yang sesat tadi mengintip dari celah-celah dinding. Rupanya (ha)rimau jadi-jadian itu sedang bersenang-senang dengan suatu permainan penghibur hati, pengobat penat di siang hari. Begitu permainan selesai, mereka pun letih dan terkapar tidur sampai tak sempat mencium bau manusia.

Besoknya orang yang sesat tadipun balik ke kampungnya. Permainan (ha)rimau jadi-jadian itu ditirunya dan dimainkannya di kampungnya. Itulah asal mulanya Makyong, konon. Entahlah ya entahkan tidak, begitulah yang diceritakan orang tua-tua dulu kepada saya”.
(Hasan Junus, “Dengan Makyong di Suatu Senja”, Suara Karya Minggu, 23 Juli 1972).

Jadi tempat asalnya permainan Makyong menurut seorang yang terlibat, langsung dalam permainan Makyong ialah kampung harimau jadi-jadian. Di negeri mana, di daerah mana, diwilayah mana, dan di kawasan mana taklah penting bagi mereka. Ruang dan waktu bagi masyarakat yang berpikir secara mistis, dan mistis akan menjadi jauh apabila tiada menurut kepercayaan yang dipegang, sebaiknya akan dekat dan akrab jika setia pada kepercayaan tersebut.

Menanyakan negeri asal Makyong sama dengan menanyakan di manakah Kerajaan Kembayat dalam Syair Siti Zubaidah. Apabila dinyatakan nama tempatnya yaitu Negeri Kamboja (dan Siam untuk Makyong).

Jika hendak dibandingkan tentang hal tersebut di atas misalnya dapat dilihat bagaimana suatu aliran persilatan yang cukup masyur, oleh para pendukungnya dinyatakan secara verbal, kokoh, dan tegas seperti simpul mati suatu ikatan tali, berasal dan diajarkan langsung dari Sayidina Ali. Seperti itu pulalah pendapat orang yang menyatakan bahwa Makyong di Kelantan sebenarnya berasal dari Nabi Adam.

Tentulah sikap keilmuan tak seperti itu. Henri Chambert-Loir pernah datang ke Pulau Tujuh dalam sebuah Festival Mendu dan memberikan teks Hikayat Dewa Mendu kepada beberapa pendukung seni pertunjukkan mendu. Dan mereka menolak untuk menerima teks itu (pertemuan dengan Henri Chambert-Loir di Penyengat, Juni 1981) karena bagi mereka Mendu tidak berdasarkan teks manapun, dan seni pertunjukkan Mendu tak datang dari mana-mana, tetapi memang diwariskan oleh orang tua-tua mereka sendiri.
Para pencatat, peneliti, atau pengkaji seni pertunjukkan Makyong seperti Walter Skeat (1976) tentulah bersikap sesuai dengan alur keilmuan sehingga berbeda dengan sikap orang-orang seperti Pak Man. Pak Atan dan orang-orang tua lainnya. Mereka berusaha mencari di mana tempat asal dan bagaimana terjadinya sampai ke tempat yang mengebangkannya, karena catatan, penelitian, atau pengkajian tentang perjalanan dan perkembangan budaya sangatlah penting bagi para peneliti itu. Dilihat dari beberapa macam ritual yang bersebati dengan seni pertunjukkan Makyong ada peneliti/pengkaji yang memperikarakan bahwa Makyong berasal dari kepercayaan animisme dan terpakai dalam pengobatan tradisional. Hal ini dapat terlihat dari lambang-lambang yang dipergunakan, yang menjurus kepada shamanisme. (Ghulam Sarwar Yousof, 1979)

Kata Makyong, menurut mereka, mungkin sekali berasal dari Mak Hyang, yaitu semangat induk padi yang dipuja serta sangat dihormati oleh masyarakat agraris-animis. Pemujaaan dan penghormatan kepada semangat induk padi itu tergambar pula pada upacara memberi “semah” atau membuat sajian bagi bermacam-macam makhluk halus yang senantiasa menyertakan tiga jenis olahan padi yang terdiri atas bahan berikut:

1. Beras basuh, yaitu beras pilihan yang tidak patah, tidak bernatah, dan sudah bersih dari kulit ari dan segala macam daki tanaman.
2. Beras kunyit, yaitu beras yang dikuningkan dengan kunyit.
3. Bertih, yaitu padi yang digongseng atau digoreng tanpa minyak

Sangat banyak mantera, jampi, atau serapah Melayu yang memperlihatkan rasa hormat kepada semangat induk padi dengan pelbagai nama. Salah satu dari mantera itu yang dibaca ketika berada di depan junjugan padi berbunyi seperti ini:
Assalamualaikum
Nabi Tap yang memegang bumi
Aku tahu asalnya padi
Seri Gading Gemala Gading yang diujung ladang
Yang terpercik yang terpelanting
Yang diorong-orong oleh semut silambaba
Hai Dang Pok, Dang Malini
Dan Selamat Menyandang galah
Bertepuk bertimbun Dayang kemari
Selamat rezeki diberi Allah

Dang (Wan) Pok dan Dang (Wan) Malini ialah dua orang perempuan yang berladang di tanah asal orang Melayu di Bukit Siguntang yang pada suatu malam melihat padi di ladangnya berubah menjadi emas sebagaimana dikisahkan dalam sejarah Melayu. Padi yang berubah menjadi emas agaknya menjadi dasar tradisi dengan beras kunyit yang dipakai secara luas dalam kebudayaan Melayu. Kedua tokoh wanita yang sangat terkenal itu disebut dalam beratus-ratus mantera, semuanya berhubungan dengan padi.

Dalam kebudayaan Melayu dikenal pula banyak sekali makhluk halus seperti hantu, jin, orang Bunian, mambang, peri, dsb. Jenis-jenis hantu saja antara lain ialah hantu tepok, hantu dapur, hantu jembalang, hantu gunung, hantu air, hantu sungai , hantu laut, hantu pelak, hantu denai, hantu hutan , hantu baran, hantu sawang, hantu songkai, hantu bidai, hantu bandang, hantu siluman, hantu jerambang, hantu angin, hantu ribut, hantu golek, hantu jerangkong, hantu raya, hantu kongkong ngeangngeang, hantu langsuir, hantu dongak, hantu belian, hantu loyang, hantu jinjingan, hantu tenggolong, hantu ikat lima, hantu menyangan, hantu pelesit, hantu serindai, hantu doman, hantu kopek, hantu bajang, hantu halimun, hantu penunggu dan lain-lain. Ada beberapa macam jenis hantu di antaranya yang dijumpai dalam kaitan Makyong, di luar atau di dalam cerita-ceritanya.

Dalam bentuknya yang baku, Makyong ialah suatu macam seni pertunjukkan yang membancuh cerita pentas, tari, nyanyi, dan musik menjadi satu. Bentuk kesenian ini dadulunya dikenal di seluruh negeri berkebudayaan Melayu. Paling tidak setiap kerajaan Melayu pernah dikunjungi oleh sekelompok seni pertunjukkan Makyong. Sekarang bentuk kesenian ini masih dapat dijumpai di Kepulauan Riau dan Kelantan.

Penilik Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Kepulauan Riau pada antara 1970-1980 masih mencatat di tempat-tempat yang memiliki perkumpulan seni pertunjukkan Makyong di Kepulauan Riau, yaitu pada lima tempat:

1. Mantang Arang
2. Rempang/Sembulang
3. Dompak
4. Kasu
5. Pulau Buluh




More about4. MakYong

3. Berzanji

Attayaya Butang Emas on 2010-01-22

Karena sudah terlalu akrab dengan prosa dan puisi yang dibacakan riwayatnya (membaca rawi) dan didendangkan puisinya yakni tentang kebesaran Nabi Muhammad SAW, meskipun dalam bahasa Arab, orang Melayu menganggap suku pertama pada kata itu diberi nama genre kesenian ini dengan imbuhan "ber". Padahal yang sebenarnya kata berzanji berasal dari kata Al-Barzanji yaitu nama keluarga seorang bangsawan Kurdi yang menulis rangkaian prosa dan puisi yang sangat terkenal itu. Karyanya dikenal mulai dari Maroko di belahan bumi sebelah barat sampai ke Iran di belahan bumi sebelah timur. Karena berhubungan dengan membesarkan seorang tokoh paling besar dalam agama Islam yaitu Rasulullah SAW sendiri, pembacaan karya Ja’far Al-Barzanji tak boleh dipandang sebagai seni biasa. Ini adalah seni pertunjukkan yang berhubungan dengan tokoh agama yang paling dihormati tiada tolok bandingannya. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalamnya tentulah nilai keagamaan.

Mulanya karya Ja’far Al-Barzanji khusus dikarang untuk dipakai pada hari peringantan kelahiran Nabi Muhammad saw yang disebut Maulud. Peringatan ini sendiri sebenarnya tak dalam tradisi Islam. Baru pada 1270 Muzaffar ad-Din di Mosul, Irak, merayakannya dan sejak itu menjadi tradisi baru yang sangat luas penyebarannya. Para seniman sastra dan musik berkumpul setiap tahun di tempat-tempat tertentu untuk memperlihatkan keakhlian dan kemampuan seni mereka dalam membesarkan nabi yang dinamakan juga Sinar Gemala Mustika Alam. Meskipun bagi pengikut mahzab yagn keras, terutama para fiqih, peringatan ini dinyatakan sebagai bid’ah, banyak sekali pengikut sufi yang mengelu-elukannya. Di negeri-negeri timur peringatan Maulud seperti sudah menjadi keharusan. Dan karya Ja’far Al-Barzanji menjadi pegangan utama dalam perayaan tersebut.

Di kepulauan Riau, membaca Maulud dengan rangkaian Barzanji, Asrakal, dan atau Marhaban tak hanya dilakukan pada peringatan Maulud. Dalam hal ini, pembacaan dilakukan juga untuk membesarkan hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, juga perayaan seperti nikah-kawin dan pesta tradisional. Selain itu, di Kepulauan Riau juga dilakukan usaha menerjemahkan karya tersebut.

Terjemahan karya Ja’far Al-Barzanji ke Kepulauan Riau memang tersebar luas, tetapi tak ada catatan yang menunjukkan terjemahan itu dipakai dalam upacara. Jadi, mungkin digunakan untuk memahami maknanya. Lain halnya dengan Sinar Gemala Mestika Alam karya Ali Haji yang selalu dibaca pada upacara Maulud.




More about3. Berzanji

2. Wayang Cecak

Attayaya Butang Emas on 2010-01-20

Wayang cecak merupakan suatu seni pertunjukkan yang paling tak meluas di antara segala macam seni pertunjukkan lainnya di Kepulauan Riau. Permainan ini berasal dari kalangan orang Cina yang banyak bermukim di Tanjungpinang dan Daik, Lingga.

Hubungan antara keluarga Kapitan Cina di Tanjungpinang dengan orang Melayu dapat ditelusuri dari sebuah karya seperti Syair Perkawinan Nak Kapitan dan serangkaian karya seperti itu. Di wilayah hukum pemerintahan Hindia-Belanda di Kota Tanjungpinang pada 1852 terdapat 1165 jiwa penduduk Cina yang sudah berusia 12 tahun ke atas. [Netscher, 1854;128]. Mereka terdiri atas dua suku bangsa yaitu suku Kwantung yang bertempat tinggal di Senggarang (disebut juga “seberang” oleh orang-orang yang tinggal di Tanjungpinang dan Penyengat dan suku lain yang tinggal di Tanjungpinang). Kelompok orang Cina dikepalai oleh seorang kapitan. Sejak 1818 Kapitan Tua (Tan Hoo) berhasil mendamaikan suku yang bermusuhan. Keberhasilan itu menambah tinggi derajat Kapitan itu pada masa pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Riau-Lingga.

Pergaulan perempuan Melayu dengan istri dan anak Kapitan Cina ini menyebabkan mereka saling memelajari kesenian masing-masing dan salah satu bentuk kesenian golongan Cina dapat memberikan gambaran tentang terjadinya penyebaran suatu bentuk kesenian yang beasal dari golongan itu. Adalah sebuah catatan tentang wayang cecak ini pada sebuah kitab yang dikarang oleh Claudine Salmon, seperti berikut:

ada satoe njonja Tionghoa dengan anak prampocannja, golongan orang baek-baek tapi miskin, jang biasa tjari penghiopenan dengan trima oepah menjanji dan mendongeng. Beberapa njonja biasa patoengan aken ondang itoe iboe dan anak di salah satoe roemah boeat dengerkan rame-rame marika poenja dongengan dan njanjian, jang bianja diberikoetkan djoega dengan taboengan gambang…. Banjak njonja-njonja tionghoa jang pande berpantoen lantaran soedah biasa denger wajang tjokek jang meramekan pesta-pesta jang mempoenjai stock besar dari segala mathem pantoenan” (Claudine Salmon, 1985:30)

Wayang cecah hanya merupakan suatu bentuk seni pertunjukkan yang dipertunjukkan di rumah-rumah tangga orang kaya ataupun yang berkedudukan, dan tiada begitu menyebar di tengah-tengah masyarakat. Di Pulau Penyengat sampai tahun 1940-an hanya ada seorang yang pandai memainkan seni pertunjukkan ini. Dia bernama Khadijah Terung, salah seorang istri Abu Muhammad Adnan. Konon, perempuan ini memiliki banyak ilmu gaib sehingga oleh suaminya dia disuruh menuliskan bermacam-macam jenis ilmu gaib yang dia ketahui. Hasilnya berupa sebuah manuskrip yang berjudul Perhimpunan Bagi Laki-laki dan Perempuan (Koleksi Yayasan Indera Sakti 1983 No. 09).

Dari perempuan inilah (meninggal 1950-an) perkhabaran tentang wayang cecak dapat diketahui sedikit. Khadijah Terung ialah seorang istri Abu Muhammad Adnan, dari kalangan orang kebanyakan (bukan keturunan raja). Kepadanya dipercayakan penjagaan anak-anak dan kemudian cucu-cucu suaminya. Dan, untuk pelengah waktu dia membuat boneka dari perca kain kira-kira sepanjang sejengkal yang dipelajarinya dan persentuhan dengan keluarga kapitan Cina di Tanjungpinang. Dengan sebuah ranjang miniatur sebagai pentas, Wayang Cecak dapat dimainkan utnuk mengantar cerita-cerita yang memang sudah diketahui. Boneka perca kain itu hanyalah alat untuk mengantarkan cerita yang diantaranya adalah sari dari syair-syair semacam Siti Zubaidah, Selendang Delima dan semacam itu.



More about2. Wayang Cecak

1. Boria

Attayaya Butang Emas on 2010-01-18

Permainan ini berasal dari masyarakat India Selatan yang banyak bermukim di Pulau Pinang (Penang), Semenanjung Tanah Melayu. Boria sangat populer pada Pemerintahan Sultan Riau-Lingga yang terakhir Sultan Abdul Rahman Al-Muazzam Syah (mulai memerintah dari tanggal 18 Februari 1886 di Daik, Lingga dan dimakzulkan dengan surat Abdikasi yang dibacakan di gedung Rusydiah Kelab pada 10 Februari 1911). Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat ada menyimpan contoh lirik lagu-lagu yang dinyanyikan oleh perkumpulan Boria ketika menyambut Hari Raya Puasa di depan Sultan Kerajaan Riau – Lingga itu.

Hubungan antara Kerajaan Riau dan Pulau Pinang sudah terbina sejak lama. Hubungan itu bertambah erat setelah pada pertengahan abad ke-19 rombongan haji dari Riau banyak yang berangkat ke Jeddah dengan alur perjalanan melalui Pulau Pinang dan Singapura.

Wilkinson (1959:153) mengartikan “Boria” sebagai berikut “Muharam minstrel of singer of carol. At the Muharram, esp. in Penang it is (or was) the custom for bands of serenaders in fancy dress to visit houses of prominent citizens and sing topical songs. Such bands are known as boria”.

Di Kepulauan Riau permainan Boria telah mendapat sentuhan di sana sini sehingga mempunyai ciri khas dan sedikit berbeda secara keseluruhan jika dibandingkan dengan Boria di Pulau Pinang itu. Seniman-seniman setempat telah memasukkan unsur-unsur kesenian yang memang telah lama diakrabi di daerahnya.

Jadi, kalau di tempat asalnya di Pulau Pinang (sebenarnya tempat lintasan saja karena negeri asalnya ialah India Selatan), Boria merupakan suatu kelompok yang datang berarak beramai-ramai ke rumah-rumah orang berada untuk menyanyikan lagu-lagu pujian pada bulan Muharram, di Riau Boria dimainkan pada setiap hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, peringatan naik tahta sultan, hari-hari besar pemerintahan Hindia-Belanda, dan lain-lain.

Lagu dan nyanyian yang dimainkan oleh Boria di Riau tak hanya lagu dan nyanyian yang ditiru oleh Boria Pulau Penang, tetapi ditambah dengan lagu-lagu setempat dari lagu-lagu yang dipelajari dari orkestra tentara Hindu-Belanda. Seperti dinyatakan dalam buku kronik Kerajaan Riau ketika penabalan Sultan Abdul Rahman Lingga putera Sultan Mahmud pada 1858, orkestra tentara Belanda ikut merayakannya (Netscher, 1870).

Lagi pula, unsur cerita pun secara samar-samar sudah dimasukkan ke dalam Boria olahan Riau. Namun, batang tubuh yang memperlihatkan seni pertunjukkan Boria itu dipelajari dari luar, dan negeri yang banyak didiami orang Keling, sangatlah kentara. Diantara perangkat Boria itu biasanya terdapat seorang penari yang gerak-geriknya sangatlah lucu. Penari ini seorang lelaki yang berpakaian seperti perempuan dan menari mengikut irama musik dengan gerak yang berlebih-lebihan. Inilah asal penari “Jogi”.

Boria sebagaimana yang ada di Riau sejak parohan kedua abad ke-19 ialah sekelompok orang yang berarak mengunjungi rumah-rumah orang berada yang memberikan sagu-hati yang layak. Barisan paling depan terdiri atas sekelompok orang (anak-anak) yang berpakaian seperti tentara (Eropa) pada masa itu, memerlihatkan kepandaian berbaris dan menari mengikuti irama musik dalam berbagai lagu dan irama. Rombongan pertama diikuti oleh rombongan kedua, ketiga, dan seterusnya yang terdiri atas rombongan pesilat, penari, dan ditutup dengan perarakan pengantin (biasanya kanak-kanak yang dikenakan pakaian pengantin). Makin panjang dan beragam kelompok itu, makin dipandang baik. Khusus untuk perarakan pengantin akan dinyatakan sebagai yang terbaik jika kelompok Boria menyuguhkan perarakan pengantin lengkap dengan segala macam upacara bersanding seperti nasi kunyit, bunga telur, dan kedua pengantin melaksanakan upacara bersuap-suap.




More about1. Boria