11. Pantun dan Seloka Melayu

Attayaya Butang Emas on 2011-06-12

11.PANTUN dan seloka

Adapun akan menyalurkan pikiran dalam sesuatu bahasa adalah dua jalannya, yaitu dengan jalan bahasa yang bersajak, dalam bahasa Melayu dikenal dengan Pantun, Syair dan Gurindam. Sedangkan yang kedua dengan jalan bahasa biasa yang tiada bersajak (prosa).

Sesungguhnya dalam Pantun, Syair dan Gurindam itulah banyak tersembunyi rahasia bahasa Melayu. Melalui Pantun itulah yang menyatakan tabiat, pikiran, dan perasaaan Orang Melayu. Tiadalah dapat ditelurusi dengan sebenar-benar (masa atau tarikhnya) kepastiannya sejak bila sesungguhnya pantun itu mulai muncul dan menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang Melayu. Dan sejak bila Pantun itu sendiri telah masuk dalam khasanah (perbendaharaan) kesusastraan Indonesia (Nusantara).

Yang terasa-rasa dan menurut pikiran berdasarkan kitab-kitab sastra lama dan juga melalui siarah sejarah; maka daripadanya diambil kesimpulan, bahwa Pantun sebagai Puisi lama (sastra lama) ini, sudah dimiliki oleh nenek moyang orang Melayu sebelum pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab masuk ke Indonesia. Pantun adalah warisan nenek moyang yang paling unik.

Mungkin agak menarik untuk menjadi perhatian. Bahwasannya banyak sarjana barat yang mengadakan penelitian tentang Pantun, seperti Tuan H. C. Klinkert, pada tahun 1866 melalui karangannya yang berjudul “de Pantuns of Minnezangen der Malelers” yang artinya “Pantun atau Nyanyian orang Melayu berkasih-kasihan”. Karangan itu dimuatkan dalam surat cerita yang bernama “Bijdragen tot de taals. Land en Volkenkunde van Ned – Indie” yang artinya “Bantuan bagi ilmu Bahasa. Ilmu Negeri dan Bangsa-bangsa Hindia”. Kemudiannya Prof. Pijnappel, L. K. Hermsen, Winsd stedt, Roolvink dan lain sebagainya, menulis, menilik kahi dan memperkatakannya berkenaan dengan Pantun ini. Waktu Prof. Ch. A. van Ophuysen mulai menjalankan jabatannya menjadi Guru Besar bahasa Melayu pada Sekolah Tinggi di kota Leiden pada tahun 1914, beliau juga telah berpidato panjang lebar berkaitan dengan Pantun.

Pantun yang merupakan bahagian dari bentuk puisi lama, hampir merata dikenal di seluruh penjuru tanah air (Nusantara), walaupun diucapkan dalam bahasa daerah. Seperti di daerah Tanpanuli dikenal dengan nama Ende-Ende, misalnya:

Molo mandurung ho dipahu
Tampul si mardulang-dulang
Molo malungun ho diahu
Tatap sirumondang bulan.


Artinya:
Jika tuan mencari paku
Petiklah daun sidulang-dulang
Jika tuan rindukan daku
Pandanglah sang bulan purnama


Sementara untuk bahasa Sunda dan Jawa, disebut orang Paparikan, seperti umpamanya Paparikan berikut ini dalam bahasa Banten:

Sing getol ngiman jajamu
Ambeh jadi kuat urut
Sing getol neangan elmu
Gunana dunya akhirat


Artinya:
Rajinlah minum jamu
Agar kuatlah urat
Rajinlah tuntut ilmu
Bagi dunia akhirat

Sedangkan di daerah Banyuwangi terdapat Pantun Gandrung dan di sekitar Surabaya (Jawa Timur) ada Pantun Ludruk. Seperti Pantun Gandrung berikut ini:

Kabeh-kabeh gelung konde
Kang endi kang gelung jawa
Kabeh-kabeh ana kang duwe
Kang endi yang durung ana


Artinya:
Semua bergelung konde
Manakah si gelung jawa
Semua telah beroleh-oleh
Siapakah yang belum punya


Biasanya Pantun Gandrung atau Pantun Ludruk ini dinyanyikan oleh penari perempuan.

Selain Pantun yang terdiri dari 4 baris tersebut, di Sumatera Barat dan di Bengkulu (Bengkahulu) terdapat pantun yang terdiri dari 6 baris, 8 baris atau lebih. Buatan dan makna pantun itu juga sama dengan pantun yang biasa, yang juga dikenal dengan nama ibarat berarti umpama berasal dari bahasa Arab.

Dalam perjalanannya ke Kelantan, Malaysia; Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, pengarang yang kenamaan itu juga pernah menyusun buku pantun lengkap dengan cara menyanyikannya. Sayangnya tiadalah diperdapat lagi karangan-karangan atau karya-karya yang bagus dan sangat berharga tersebut.

Pantun selain dibawakan seperti lazimnya, juga dilagukan yang acapkali diiringi oleh peralatan music seperti Rebana, Kompang, Gendang, Biola dan lain sebagainya. Di zaman dahulu, di dalam suatu acara, seing diadakan perjamuan pantun. Sang Penyanyi (Pemantun) mengeluarkan pantunnya dengan diiringi oleh alat music. Tinggi rendah nya suara pemantun itu bersetujuan benar dengan suara bunyi-bunyian tersebut.

Segala yang hadir membukakan telinganya. Apalagi jikalau mereka (sang pemantun) mengumpamakan dirinya sebagai dua orang yang berkasih-kasihan; sangatlah meriahnya. Seandarinya salah seorang tak dapat membalas pantun lawannya; kekalahan itu diiringi gelak terbahaknya orang yang mendengar. Sebaliknya bunyi Kur yang disorakkan, diiringi bunyi rebana yaitu sebagai upah orang yang bijak menyahuti pantun.

Jikalau seseorang dapat mengeluarkan sebuah pantun yang mengandungi sepatah atau dua patah perkataan yang tersebut dalam pantun lawannya, maka kepandaiannya itu sangat diindahkan. Seorang penyanyi (pemantun) dimasukkan dalam golongan orang yang ahli kalau ia dapat berturut-turut mengucapkan beberapa buah pantun, yang melahirkan buah pikirannya. Selain itu, yang sangat ditinggikan benar ialah beberapa buah pantun yang berhubung-hubung, pantun yang berikut didapati beberapa buah perkataan yang tersebut pada pantun yang mendahuluinya.

Di Pulau Piang atau di Temasik (Singapura) dikeluarkan orang Pantun Seloka atau Ibarat Pantun, yang dimaksud adalah Pantun bertali-tali atau berkait-kait. Sebab baris yang kedua dan yang keempat dari panting pertama menjadi baris yang pertama dan ketiga pada pantun yang lain (berikutnya). Oleh karenanya antara Pantun dan Lagu Melayu, ibarat seperti kuku dan daging. Artinya, satu kesatuan yang tak terpisahkan. Simaklah semua Lagu Melayu, apakah itu yang ber irama Inang, Langgam, Zapin, joget maupun Gazal, senikata nya berbentuk pantun. Apatah lagi Dondang Sayang sebagai itu dari lagu Melayu.

Puisi tradisional Melayu (Puisi Lama) yang bernama PANTUN ini telah memainkan peranan yang istimewa dalam perjalanan hidup orang Melayu. Ada dugaan kata PANTUN berasal dari kata kata TUN yang mempunyai arti TERATUR, sebagaimana yang dikemukakan oleh Renward Branstetter. Dari pada pendapat itu Hoesein Djajadiningrat berkesimpulan, bahwa Pantun ialah bahasa yang terikat dan teratur atau tersusun. Disamping itu akar kata TUN dalam dunia Melayu juga bisa berarti arah, pelihara dan bombing, seperti yang ditunjukkan oleh kata tunjuk dan tuntun. Kesimpulannya, pantun dapat berarti sebagai bahasa terikat yang dapat member arah, petunjuk, tuntunan dan bimbingan.*)

Puisi lama yang dinamakan Pantun, ialah puisi yang daripadanya terdiri dari 4 baris. Tiap baris diusahakan terdiri dari 4 perkataan pula. Tetapi dalam kenyataan keseharian, kedapatan juga (malah sering) lebih dari 4 perkataan yang digunakan orang.

Sampiran pada pantun terdiri dari 2 baris, yaitu baris kesatu dan kedua. Sedangkan isinya 2 baris pula, yaitu baris ketiga dan baris keempat. Kalau dilihat dari keadaannya, pantun mempunyai rumus sajak silang, yaitu: a, b, ab.

Jadi yang bersajak ialah baris kesatu dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan keempat. Bersebab ada beberapa pendapat dari kalangan orang yang pandai – pandai. Yaitu yang beranggapan bahwa sampiran dan isi didalam sebuah bait pantun itu mempunyai kaitan yang erat. Karenanya tiadalah diperbolehkan membuat sampiran asal jadi (tangkap muat) demi hanya untuk persamaan bunyi baris pertama dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat (bersajak).
Misalnya:

Hujanlah hari rintik-rintik,
Tumbuh cendawan belang kaki,
Kami sepantun telur itik,
Kasih ayam muka menjadi.


Hubungan sampiran dan isi di sini, terletak pada persamaan kejadian (peristiwa), yaitu cendawan tidak akan tumbuh kalau tidak disebabkan hujan, dan telur itik tidak akan menetas jika tidak dierami ayam. Kemudian ada lagi:

Telur itik dari Singgora,
Pandan terletak dilangkahi,
Darahnya titik di Singapura,
Badannya terhantar di Langkawi.


Jangan dikatakan sebait pantun itu tiada kena-mengena antara sampiran dan isinya. Terlebih dari sekedar keterkaitan, pantun itu dibuat juga berkenaan peristiwa sejarah. Seperti dituturkan secara selintas berikut ini:

Syahdan, ada seorang hamba Allah di Pasai, Tun Djana Chatib namanya. Maka Tuan itu pergi ke Singapura tiga bersahabat, dengan tuan di Bunguran dan di Selangor.

Maka Tun Djanah berjalan di pecan Singapura, maka lalu hamper istana raja; pada ketika itu raja perempuan melihat ditingkap, maka berpandang kepa Tun Djana Chatib. Maka ada sebatang pinang hampir istana itu, maka ditilik oleh Tun Djanah Chatib, belah dua pohon pinang itu. Telah dilihat oleh Paduka Seri Maharaja perihal itu, maka baginda terlalu marah; maka baginda berkata:

“Lihatlah kelakuan Tun Djanah Chatib, diketahuinya istri kita menengok, maka ia menunjukkan pengetahuannya”.

Maka disuruh baginda bunuh. Maka Tun Djana Chatib pun dibawa orang kepada tempat pembunuhan. Serta ditikam orang akan Tun Djana Chatib, darah titik ke bumi, badannya ghaib tiada berketentuan. Ada suatu ceritera, badan Tun Djanah Chatib itu terhantar ke Langkawi, ditanamkan orang disana.

Demikian ceritanya hingga dibuatkan orang akan pantunnya seperti yang tersebut.

Hendak jugalah diketahui, bahwa Singapore itu terletak di gentingan Kra pada daerah perbatasan Siam dan Malaysia. Hal ini hendak menunjukkan betapa jauhnya Singgora itu.

Kemudiannya, kita maklumi bersama bahwa telur Itik baru akan menetas kalau dieram di induk ayam. Hal ini menunjukkan kepasrahan kepada Penguasa Alam (Allah), akan nasib dan ketentuannya dalam perjalanan yang jauh. Sebermula Tikar Pandan (pandan) ialah benda yang halus, harus dihematkan; kiasan bagi puteri istana yang harus diperlakukan dengan lebih banyak kehormatan.

Syahdan, dikarenakan pantun dipergunakan oleh semua umur, maka dicerai-ceraikanlah pantun itu terdiri dari 3 jenis pantun, yaitu:
1. Pantun Anak-Anak
2. Pantun Orang Muda
3. Pantun Orang Tua.


Sedangkan untuk PANTUN ANAK-ANAK, masih dapat di bagi kepada 3:

1.Pantun Bersuka Cita

Misalnya :
Elok rupanya kumbang jati,
Dibawa itik pulang petang.
Tidak terkata besar hati,
Melihat ibu sudah datang.


Atau:
Dibawa itik pulang petang,
Dapat dirumput bilang-bilang
Melihat ibu sudah datang,
Hati cemas menjadi hilang.


Atau:
Dapat di rumput bilang-bilang,
Menghisap bunga dengan mayang.
Hati cemas menjadi hilang,
Perut lapar menjadi kenyang.


2.Pantun Berduka Cita.

Misalnya:
Anak nelayan menangkap pari,
Sampannya karam terlanggar karang.
Sungguh malang nasibku ini,
Ayah pergi ibu berpulang.


Atau:
Tanamlah bayam sambil duduk,
Tanam di dekat pinggir payah.
Lihatlah ayam tidak berinduk,
Begitu macam untungnya saya.


Atau:
Ke balai membawa labu,
Labu amanat dari situnggal.
Orang memakai baju baru,
Hamba menjerumat baju bertambal.


3.Pantun Teka Teki

Misalnya:
Biduk sekunar dari barat,
Penuh berisi asam cuka.
Makan di laut muntah di darat,
Apakah itu cobalah terka.


Atau:
Diukur dijangka-jangka,
Burung merak, burung angkasa
Bertiup angin sangkakala,
Di situ kita bertemu mata.


Atau:
Kalau puan, puan cerana,
Ambil gelas didalam peti.
Kalau tuan bijaklaksana,
Binatang apa tanduk di kaki.


Sedangkan untuk PANTUN ORANG MUDA, terbagi lagi kepada 3 bahagian pula:

1.Pantun Dagang (Pantun Nasib)

Misalnya:
Tidak salah bunga lembayung,
Selahnya pandan menderita.
Tidak salah bunda mengandung,
Salahnya badan buruk pinta.


Atau:
Baying orang mengetam pulut,
Hamba seorang mengetam padi.
Banyak orang karam di laut,
Hamba seorang karam di hati.


Atau:
Serai serumpun tengah halaman,
Tempat murai turun mandi.
Tinggal kampong tinggal halaman,
Tinggal tepian tempat mandi.


2.Pantun Muda
Untuk Pantun Muda ini masih dapat dibagi lagi kepada 3 hal, yaitu:

a. Pantun Berkenalan

Misalnya:
Dari mana hendak kemana,
Dari Jepang ke Bandar Cina.
Kalau boleh kami bertanya,
Bunga yang kembang siapa punya.


Atau:
Beringin di kampong pulau,
Pautan ayam tedung Gombak.
Hati ingin memandang pulau,
Biduk ada pengayuh tidak.

Yang juga sama dengan:
Melenguh lembu di gunung,
Melenguh sampai ke balai.
Maksud hati memeluk gunung,
Apa daya tangan tak sampai.


Atau:
Mahal harganya kain batik,
Dipakai selendang ke kuala.
Jika bunga boleh dipetik,
Dipersunting dijunjung di kepala.


b. Pantun Berkasih-kasihan

Misalnya:
Jika roboh kota Melaka,
Papan di Jawa saya dirikan.
Jika sungguh sebagai kata,
Badan dan nyawa saya serahkan.


Atau:
Jika tiada karena bulan,
Takkan bintang meninggi hari.
Jika tidak karena tuan,
Takkan adik datang ke mari.


c. Pantun Berceraian:

Misalnya:
Penggal puan penggal selasih,
Penggal puan di Johor Lama.
Buah hati tinggallah tuan,
Kanda pergi tidakkan lama.


Atau:
Buah pauh delima batu,
Anak sembilang di tapak tangan.
Walau jauh di negeri satu,
Hilang di mata di hati jangan.


Atau:
Hanyut cawan dengan kakinya,
Berperai-perai bunga selasih.
Ayuhai badan apa jadinya,
Hampir bercerai dengan kekasih.


Untuk lebih asyik-masuk dalam buai kemesraan, kita petikkan daripada cuplikan pantun mengajuk hati dari sepasang teruna. Marakermah dan Puteri Caya Chairani:

Marakermah:
Dari Banten ke Tanjung Kandis,
Berlayar ditumbang angin utara.
Lagi berhadapan mulutnya manis,
Balik belakang lain bicara.


Caya Charirani:
Ambil puan dari Marinda,
Pandan di jawa saya rebahkan.
Jika tuan membawa adinda,
Badan dan nyawa saya serahkan.


Marakermah:
Ambil puan diatas batu,
Hendak berlayar ke benua Jawa.
Jika tuan berkata begitu,
Esok hari kekanda bawa.


Caya Chairani:
Anak belida memakan kanji,
Pandan di Jawa diranggungkan.
Jika kekanda mungkirkan janji,
Badan dan nyawa menanggungkan.


Marekermah:
Terang bulan terang ke paya,
Raja Mesir bertenun kain.
Tuan dipandang bertambah caya,
Rasaku tidak pada yang lain.


Caya Chairani:
Aci-aci ke Bangkahulu,
Seri paduka panglimanya.
Jika kasih sabar dahulu,
Nantikan saja ketikanya.


3.Pantun Jenaka

Misalnya:
Elok rupanya pohon belimbing,
Tumbuh di dekat limau lungga.
Elok berbini orang sumbing,
Biar marah ketawa juga.


Atau:
Elok jalannya Kota Tua,
Kiri kanan berbatang sepat.
Elok berbini orang tua,
Perut kenyang ajaran dapat.


Atau:
Orang Jawa pergi ke Banda,
Membeli ikan dengan rebung.
Orang tua berbini muda,
Bagai rasa menang menyabung.


Sampailah kepada PANTUN ORANG TUA yang dipilah pula kepada 3 bahagian, yaitu:

1.Pantun Nasihat

Misalnya:
Berburu kepadang datar,
Dapat rusa belang kaki.
Berguru kepalang ajar,
Bagai bungan kembang tak jadi.


Atau:
Riang-riang terbang ke kolam,
Retak bertanggur depan kota.
Laksana siang menanti malam,
Demikian umur sekalian kita.


Atau:
Anak gajak mandi di sumur,
Ambil galah dalam perahu.
Orang muda jangan terkebur,
Cubaan Allah siapa yang tahu.


2.Pantun Adat

Misalnya:
Rama-rama si kumbang jati,
Khatib Endah pulang berkuda.
Patah tumbuh hilang berganti,
Pusaka tinggal begitu juga.


Atau:
Yang merah hanya saga,
Yang kurik hanya kundi.
Yang indah hanya bahasa,
Yang baik hanyalah budi.


Samalah dengan:
Tingkap papan kayu persegi,
Riga-riga di pulau Angsa.
Indah tampan karena budi,
Tinggi bangsa karena bahasa.


Atau:
Bunga melati bunga di darat,
Bunga seroja di tepi kali.
Hina besi Karen karat,
Hina manusia tidak berbudi.


3.Pantun Agama

Misalnya:
Kemumu di dalam semak,
Jatuh melayang selarangnya.
Meski ilmu setinggi tegak,
Tidak sembahyang apa gunanya.


Atau:
Asam kandis asam gelugur,
Kedua asam siriang-riang.
Menangis mayat dalam kubur,
Teringat badan tidak sembahyang.


Atau:
Kemumu di tengah pecan,
Diembus angin jatuh ke bawah.
Ilmu yang tidak diamalkan,
Bagai pohon tidak berbuah.


Pantun Berkait
Sebenarnya Pantun Berkait ini samalha dengan pantun yang biasa lazimnya, tetapi antara bait yang satu dengan bait yang lain, ada rantai yang berkait-kait. Maka Pantun Berkait ini ada juga yang menyebutnya sebagai Pantun Rantai.

Alhasil, jika kita perhatikan dalam 1 bait, maka:
- Jumlah barisnya 4
- Baris 1 dan 2 ialah sampiran
- Baris 3 dan 4 adalah isinya.
- Sajaknya a b, a b

Sedangkan keterkaitan antara bait-bait itu ialah; baris ke 2 dan ke 4 pada bait pertama, menjadi baris ke 1 dan baris ke 3 pada bait berikutnya. Untuk jelasnya kita contohkan kepada pantun berikut:

Bunga kenanga di Kampung Raya
Sayang terkelup di dalam peti *
Bagaimana untung nasib saya
Darikan hidup baiklah mati **

Saying terkelup di dalam peti, *
Bungan melati tumbuh di karang, ***
Darikan hidup baiklah mati, **
Tempat hati diambil orang. ****

Bunga melati tumbuh di karang, ***
Ambil pena dalam cunia.
Tempat hati diambil orang, ****
Apa guna hidup di dunia.


Serba sedikit telah diutarakan tentang pantun berkait. Dan sebelum kita tamatkan pembicaraan berkaitan tentang pantun, hendak juga disampaikan prihal irama pantun.

Irama pantun ketika disampaikan ianya juga berlagu. Boleh juga ianya dinotasikan seperti lagu yang sedia adanya. Tetapi hal yang serupa itu tiada pernah pula dikerjakan orang. Maka tiada diperbuat akannya.

Irama pantun, adalah gaya berbicara yang teratur tetapi tidak bemelodius. Ada orang yang berpantun menggunakan irama lagu Hitam Manis, atau yang agak popular dipergunakan lagu Indung-indung.


Keterangan :
*) UU Hamidy, makalah yang disampaikan dalam kenduri seni Melayu se Dunia di Batam pada tanggal 26 – 31 Oktober 2002. Judul Makalahnya “ Jagad Pantun Persada Melayu di Riau”.