Salah satu unsur kebudayaan Melayu adalah tenun, yang sudah berkembang dengan pesat sejalan dengan keperluan masyarakat akan pakaian dan keperluan yang lain. Berbagai corak (motif) dan ragi (desaign) tenun dikembangkan seiring dengan aneka ragam fungsi pakaian itu sendiri.
Dalam masyarakat Melayu pakaian tak semata-mata untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin belaka. Lebih dari itu, pakaian hendaklah dapat menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa (lihat effendi, 1990:10-11). Sesuai dengan kegunaannya itu, pakaian menjadi tidak bernilai apa adanya, melainkan mempunyai atau bernilai adat dan budaya, berpatutan serta keindahan. Itulah sebabnya, didalam budaya Melayu dikenal ungkapan, antara lain, “pantang memakai memandai-mandai”. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem disebutkan, “salah pakai perut terburai”.
Pakaian harus memiliki mutu keindahan seperti yang terdapat dalam hikayat Dewa Mendu, yakni mutu “seri gunung” dan “seri pantai”. Itu berarti pakaian harus indah dipandang dari jauh dan elok pula dipandang dari dekat. Lebih dari itu, ungkapan itu menyiratkan pula bahwa pakaian haruslah indah dipandang oleh mata (lahiriah) dan elok ditilik oleh mata hati (bathiniah). Dengan keadaan seperti itulah, pakaian, seperti dinukilkan oleh pengarang Melayu lama Ahmad Rijaluddin memiliki mutu sahdu perdana yang bernilai tujuh laksana atau kecantikan kelas satu yang patut diberikan nilai tujuh bintang (lihat Junus, 1990:3-4).
Untuk memenuhi kegunaan dan mutu seperti disebutkan di atas, pakaian harus memiliki lambang-lambang. Setiap corak dan ragi tenun dalam kebudayaan Melayu tidaklah hanya kosong belaka, tetapi mengandung makna dan lambang tertentu. Keanekaragaman makna itu amat bergantung pada corak dan ragi tertentu. Orang tua-tua mengatakan, “Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada letak ada sifatnya”.
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa aneka ragam corak dan ragam tenun Melayu yang ada di Kepulauan Riau belum begitu tersebar luas, lebih-lebih akhir-akhir ini. Bahkan, masyarakat daerah ini sendiripun banyak yang tak mengetahui keberadaan corak dan ragi serta makna yang dikandungnya.
Dalam masyarakat Melayu pakaian tak semata-mata untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin belaka. Lebih dari itu, pakaian hendaklah dapat menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa (lihat effendi, 1990:10-11). Sesuai dengan kegunaannya itu, pakaian menjadi tidak bernilai apa adanya, melainkan mempunyai atau bernilai adat dan budaya, berpatutan serta keindahan. Itulah sebabnya, didalam budaya Melayu dikenal ungkapan, antara lain, “pantang memakai memandai-mandai”. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem disebutkan, “salah pakai perut terburai”.
Pakaian harus memiliki mutu keindahan seperti yang terdapat dalam hikayat Dewa Mendu, yakni mutu “seri gunung” dan “seri pantai”. Itu berarti pakaian harus indah dipandang dari jauh dan elok pula dipandang dari dekat. Lebih dari itu, ungkapan itu menyiratkan pula bahwa pakaian haruslah indah dipandang oleh mata (lahiriah) dan elok ditilik oleh mata hati (bathiniah). Dengan keadaan seperti itulah, pakaian, seperti dinukilkan oleh pengarang Melayu lama Ahmad Rijaluddin memiliki mutu sahdu perdana yang bernilai tujuh laksana atau kecantikan kelas satu yang patut diberikan nilai tujuh bintang (lihat Junus, 1990:3-4).
Untuk memenuhi kegunaan dan mutu seperti disebutkan di atas, pakaian harus memiliki lambang-lambang. Setiap corak dan ragi tenun dalam kebudayaan Melayu tidaklah hanya kosong belaka, tetapi mengandung makna dan lambang tertentu. Keanekaragaman makna itu amat bergantung pada corak dan ragi tertentu. Orang tua-tua mengatakan, “Ada benda ada maknanya, ada cara ada artinya, ada letak ada sifatnya”.
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa aneka ragam corak dan ragam tenun Melayu yang ada di Kepulauan Riau belum begitu tersebar luas, lebih-lebih akhir-akhir ini. Bahkan, masyarakat daerah ini sendiripun banyak yang tak mengetahui keberadaan corak dan ragi serta makna yang dikandungnya.