13. Bersanding

Attayaya Butang Emas on 2008-12-18

Adapun setelah acara akad nikah selesai, pengantin lelaki terlebih dahulu pulang ke rumah untuk persiapan acara bersanding. Sementara pengantin perempuan dimandikan oleh Mak Andam dengan air bunga tujuh warna (jenis). Selesai dimandikan kemudian dilangir atau dibedaki dengan bedak yang terbuat dari bahan tradisional.

Kemudian pengantin perempuan dirias dan mengenakan baju kurung teluk belanga. Dipasangkan pula kain samping. Baju pengantin tersebut biasanya adalah jenis songket atau kain yang terbuat dari benang berwarna emas atau perak. Selesai digauni diberi sanggul bernama “lipat pandan”. Bentuk sanggul menyerupai lipatan daun pandam berisi pelepah batang pisang yang digulung dengan rambut pengantin atau dengan cemara yakni rambut palsu. Jika pengantin berambut pendek, hiasan pengantin berupa gandik, cocok siput atau sunting, dokoh, pending, kembang goyang, pandan mayang, anting-anting dan cincin. Sewaktu pengantin perempuan dirias Mak Andam, diadakan acara marhaban, berdah, hadrah dan lain sebagainya. Seni budaya bernafaskan Islam ini ditampilkan pada dasarnya bertujuan menjunjung tradisi. Keadaan rumah pengantin akan terasa semarak. Dengan ditampilkan seni budaya yang telah dikemukakan, khalayak di lingkungan terutama anak-anak tertarik untuk datang, sehingga sekitar rumah pengantin menjadi ramai. Sedangkan bagian dalam sudah jelas padat karena ditempati pelaku-pelaku pelaksana adat yang berhubungan dengan upacara pesta perkawinan.

Begitu juga halnya dengan pengantin laki-laki, setelah pulang ke rumahnya dan waktu mendekati shalat Dzuhur, maka dia dipakaikan pakaian pengantin. Pakaian pengantin ini dibawa dan diantarkan utusan Mak Andam dari rumah pengantin perempuan. Pakaian pengantin laki-laki yang dikenakan berupa baju teluk belanga tidak berlengan, celana panjang menyerupai pasangan baju kurung. Kemudian, dipasangkan ikat pinggang berukuran besar yang terbuat dari bahan kain yang lazim disebut “sabuk” atau “bengkung”. Selanjutnya pula dipasangkan pula baju luar atau “jubah” dan berserban. Jubah adalah pelapis baju teluk belanga. Oleh sebab itu, baju ini disebut baju luar. Ukurannya besar, berlengan panjang dan bagian bawahnya mencapai betis dan diberi perhiasan. Demikian juga serban berhiaskan kembang mayang. Adapun alas kakinya berupa sendal jepit bertali yang dinamakan “capal”.

Kedua pengantin sudah dirias dan diberi berpakaian, maka mereka dipersandingkan. Persandingan yaitu di rumah pengantin perempuan. Waktu bersanding hampir tiba, pihak pengantin perempuan mengirim utusan menjemput pengantin laki-laki. Utusan ramai dan didampingi para pemain musik kompang.

Pengantin laki-laki diarak menuju rumah pengantin perempuan. Kelihatan utusan datang, pihak pengantin laki-laki menyongsong rombongan yang datang membawa sirih lelat (sirih lat-lat). Alat ini dibawa sebagai pertanda bahwa pengantin perempuan sudah dipelaminan atau sudah siap menanti kehadiran pengantin laki-laki untuk bersanding. Pakaian yang dibawa utusan diserahkan dan dipasangkan Mak Andam kepada pengantin laki-laki. Setelah berpakaian, sang pengantin diarak beramai-ramai menuju rumah pengantin perempuan. Ketua rombongan ini adalah orang yang menguasai adat-istiadat perkawinan dan ahli berpantun. Pendamping yang lainnya bertugas membawa tepak sirih, pakaian sang pengantin dan bunga manggar. Bagian atas tepak sirih menyerupai kepala burung merak jantan. Pakaian sang pengantin yang dibawa dalam bentuk bungkusan. Kanan dan kiri pengantin terdapat orang yang memegang bunga manggar. Bunga ini dibuat dari bahan lidi kelapa yang dibalut kertas warna-warni. Bagian pangkal lidi ditusukkan atau ditancapkan pada batang pisang atau gabus atau pepaya muda berukuran 25 cm, kemudian batang pisang atau gabus atau pepaya muda tadi ditusuk dengan kayu agar mudah memegang sekaligus membawa bunga itu dalam perarakan. Hal yang menarik dari bunga manggar tersebut, pada ujung lidi diikatkan uang logam dan permen. Fungsi bunga sebagai pertanda pemberitahuan kepada pihak pengantin perempuan mengenai kehadiran rombongan pengantin laki-laki.

Pada masa silam, pengantin laki-laki diarak menuju rumah pengantin perempuan dengan berjulang, yaitu sang pengantin berada di pundak orang lain. Namun, budaya berarak seperti ini sudah ditinggalkan. Dewasa ini, pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan berjalan sama halnya dengan keramaian yang mengaraknya. Turun dari rumah sampai ke tempat tujuan, sang pengantin memegang “sirih lelat”. Sirih ini sudah dimanterai Mak Andam. Permanteraan dilakukan supaya sirih memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu dipercayai dapat melindungi pengantin dari berbagai gangguan terutama gangguan yang bersifat gaib. Perarakan dihibur bunyian kompang yang diiringi nyanyian pujian terhadap Nabi dan para sahabatnya.

Dengan diiringi musik kompang, sang pengantin terus diarak sampai ke rumah pengantin perempuan. Mendekati pekarangan rumah pengantin perempuan, bunga manggar yang dibawa, direbahkan, maka ramailah anak-anak berebut untuk mengambil uang logam dan permen yang terdapat pada pucuk-pucuk bunga manggar. Peristiwa ini cukup menarik dan menjadi bagian dari kemeriahan majelis perkawinan.

Musik perarakan pun berhenti, dan rombongan yang datang disambut pula dengan pencak silat. Permainan silat ini diiringi dengan bunyi-bunyian berupa gendang, gong dan nafiri atau seruling. Penampilan silat mempunyai dua kegunaan, yang pertama sebagai bagian dari acara penyambutan pengantin itu sendiri, sedangkan yang kedua adalaah sekaliannya menunjukkan untuk menjaga keamanan berkenaan dengan majelis pernikahan tersebut.

Selesai penyambutan dengan pencak silat, rombongan pengantin lelaki memasuki halaman rumah dan ditaburi dengan beras kunyit, terutama pengantin lelaki. Upacara penaburan ini dilaksanakan sebagai perlambang keberhasilan sang Bujang hidup menyatu dengan sang Dara. Perlambang lainnya dalam upacara ini adalah sebagai pemula berhubungan pengantin lelaki menaiki rumah pengantin perempuan.

Kemudian berjalan memasuki rumah, tetapi sebelum naik ke rumah, rombongan dihadang dengan “tali lawa”. Upacara ini dinamakan “upacara lawa-lawa”. Tujuannya adalah untuk mengetahui maksud kedatangan rombongan, konon. Dan biasanya dimintaiuang ala kadarnya. Alat lawa terdiri dari kain panjang yang dipiln-pilin sehingga menyerupai tali berukuran besar. Tali lawa tersebut di rentang di depan pintu atau tangga naik ke rumah. Petugas yang memegang kian tersebut dipersiapkan oleh pihak pengantin perempuan dan ada pula yang memegang pundi tempat uang. Maksud dari upacara ini sebenarnya ingin menunjukkan kepada pihak pengantin laki-laki bahwa tidak mudah untuk mendapatkan sang dara. Jadi perkawinan bukan main-main. Oleh sebab itu, sangat tidak diharapkan nantinya sampai terjadi perceraian dan rumah tangga hancur. Suami isteri dituntut untuk saling bertanggung jawab, saling pengertian. Jadi upacara lawa-lawa itu didasari dari ketentuan tersebut, bukan karena uang atau kebendaan.

Nah, oleh karena pengantin lelaki tidak dapat masuk ke rumah sebab dihadang dengan tali lawa, maka pihak pengantin lelaki bertanya dengan pantun :
Pengiring lelaki :
Kalau memetiksi buah pauh,
Jangan dipetik bersame dahan.
Kami ini datang dari jauh,
Mengape kami tuan tahan?

Pengiring perempuan :
Dari muare pergi ke hulu,
Hendak membeli daun turi.
Kami hendak bertanye dahulu,
Ape hajat datang kemari?

Pengiring lelaki :
Bukan udang sembarang udang,
Udang buat memancing patin.
Bukan kami sembarang datang,
Datang hendak menyatukan pengantin.

Pengiring perempuan :
Kalau tidak kelape bulan,
Tak mungkin tupai mati.
Kalau begitu maksud tuan,
Bayar dahulu upah menanti.

Pengiring lelaki :
Tahulah kami dimane bulan,
Di atas langit di malam hari.
Tahulah kami maksud tuan,
Inilah sekedar yang kami beri.

Pengiring perempuan :
Jangan tuan menjaring selangat,
Di sane banyak ikan berduri.
Jangan awak kedekot sangat,
Beri dan tambah sedikit lagi.

Pengiring lelaki :
Beli buah berkati-kati,
Buah dikirim ke pulau Jawe.
Tuan diharap bermurah hati,
Hanye inilah yang kami bawe.

Pengiring perempuan :
Mengasah senjate pisau belati,
Jangan lupe pisah disemah.
Mendengar itu kasihan di hati,
Silekan tuan naik ke rumah.

Selesai saja terlepas dari tali lawa-lawa di halaman rumah, kini sebelum masuk ke rumah, di pintu telah dihadang pula. Inilah dikatakan “tebus pintu”. Biasanya pada tebus pintu ini uang diminta lebih besar lagi ketika melewati tali lawa-lawa. Setelah memberikan uang, dan adakalanya juga berpantun-pantun, barulah pengantin lelaki diperbolehkan masuk dan ditaburi dengan beras kunyit.

Pada saat pengantin lelaki menuju ke peterakne, rebana berbunyi penuh kemeriahan. Peterakne adalah tempat bersanding kedua pengantin, bagian depannya ditaburi beras kunyit dan uang logam, hal ini dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih karena upacara dilaksanakan dengan kesenangan.

Walaupun pengantin lelaki sudah memasuki ruang persandingan, pengantin lelaki belum diperkenankan duduk bersanding. Sedangkan wajah pengantin perempuan ditutupi oleh Mak Andam (Mak Inang) dengan kipas. Untuk itulah dilaksanakan dahulu upacara “tebus kipas”. Nah untuk membukanya maka pengiring lelaki bertanya dengan pantun :

Pengiring lelaki :
Kalau besar ikan di jahan,
Masih kecil si ikan duri.
Sudah due kali kami ditahan,
Sampai disini ape lagi?

Mak Inang :
Bawe ambung ke kampung Mading,
Disane banyak buah kuini.
Kalau pengantin ingin bersanding,
Bukelah dahulu kipas ini.

Pengiring lelaki :
Kalau betul pergi ke Mading,
Apekah tahu arah jalannye.
Ingin betul hendak bersanding,
Tapi kami tak tahu syaratnye?

Mak Inang :
Menangguk anak ikan temperas,
Ikan ade di sungai duare.
Penat tangan memegang kipas,
Berilah kami seringgit due.

Pengiring lelaki :
Sungai duare banyak temperas,
Tetapi sayang liar ikannye.
Sudah due kali kocek terkuras,
Inilah saje tinggal koretnye.

Mak Inang :
Mari menebang si pohon jati,
Keras kayunye tiade berbanding.
Mendengar kate hibelah hati,
Silekan naik duduk bersanding.

Setelah ketua pengiring menyerahkan uang kepada Mak Inang selaku yang empunya pengantin perempuan, barulah pengantin lelaki diperkenankan naik ke peterakne dan bersanding dengan pengantin perempuan.