3. Jati Diri Melayu

Attayaya Butang Emas on 2008-08-02

Diketik di Jogjakarta, 24 Juli 2008

Di zaman penjajahan Belanda, tersebarlah suatu anggapan dari pihak kolonial berkenaan orang Melayu, bahwasanya orang Melayu kononnya memiliki semangat kerja yang kurang, cepat merasa puas dan tiadalah berpikiran maju ke hadapan. Kemudian diperkatakan pula orang Melayu sebagai masyarakat yang tinggal berdekatan dengan laut dan laut sebagai sumber mata pencaharian, ada pula yang tinggal di pinggir-pinggir sungai dengan mata pencaharian berburu, menyadap getah dan pencaharian yang lain.

Sebutan-sebutan seperti itu, pada hakikatnya tiadalah akan kebenarannya. Pengertian ataupun pandangan yang sedemikian itu perlulah diluruskan, sehingga jati diri orang Melayu sebagai orang yang ramah, pandai bergaul, rajin, memiliki rasa seni yang tinggi, pandai menyesuaikan diri dengan siapapun serta memiliki pengertian, yang kesemuanya patutlah terus dikembangkan. Di samping itu, masyarakatnya yang menganut agama Islam dengan kuat, beradat Melayu dan berbahasa Melayu serta dahulunya orang Melayu merupakan bangsa pelaut atau pejuang bahari, pedagang dan bangsa pemberani. Sampai ke hari ini dipercayai bangsa Melayu masih memiliki dan mempertahankan jati dirinya.

Orang Melayu selalu memiliki pandangan jauh ke depan dan selalu ingin belaja untuk menuntut ilmu pengetahuan dengan tidak meninggalkan budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Sebenarnya dengan kemampuan itu, pada masanya akan selalu mampu untuk bersaing sekaliannya menjawab tantangan masa depan.

Terlepas dari masalah penjajahan, konon tersebutlah seorang cerdik pandai berkebangsaan Belanda bernama Vallentijn (1712 M) menyebutkan bahwa orang Melayu sangat cerdik, pintar dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, penuh sopan-santun, menyukai kebersihan dalam hidupnya dan umumnya begitu rupawan, sehingga tidak ada manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka, di samping kelebihan lain sebagai masyarakat penggembira. Selain itu, orang Melayu juga mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka, tetapi tetap sealu berusaha memperluas pengetahuan dan juga mempelajari bahasa Arab.

Selain itu seorang cerdik pandai lainnya yang bernama C. Lekkerkerker (1916) menyebutkan bahwa jati diri Melayu adalah lebih dari segala suku-suku di nusantara. Tiada dapat dipungkiri bahwa orang Melayu merupakan orang-orang yang paling banyak berjasa dalam menyebarkan agama Islam di nusantara. Baik melalui bahasa, kapal, perdagangan mereka, perkawinan mereka dengan perempuan lain dan propaganda langsung. Orang Melayu juga suka mengembara. Suatu ras yang paling gelisah di dunia, selalu berpindah kemana-mana untuk mendirikan hunian.

Selain itu, adalah seorang cerdik-pandai juga berkebangsaan Belanda yaitu Prof. J.C. van Eerde (1919) menyebutkan bahwa orang Melayu sangat bertenaga dan penuh keinginan kuat untuk maju. Lalu, kalau ada yang mengatakan bahwa orang Melayu sekarang banyak yang tertinggal di berbagai bidang terutamanya di bidang ekonomi, tekhnologi. Bahkan ada kecendrungan sifat untuk maju semakin berkurangan. Maka patutlah kita mempelajarinya kembali. Padahal kalau kembali ke jati diri orang Melayu yang sebenarnya, seperti mengamalkan nilai-nilai kejujuran dalam berdagang, berani mengarungi lautan, dan jarang terlibat dalam soal kejahatan sebaliknya suka kepada tegaknya hukum yang dipadukan dengan bakat yang melekat pada dirinya seperti bidang kesenian, nelayan dan pelayaran tentulah tiada lagi akan terdengar kepada cerita yang diperkatakan orang itu. Sayangnya kitab yang disusun ini bukanlah pula memperkatakan hal yang sedemikian, sebaliknya hanya membatasi diri kepada yang berkenaan dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu dengan adat dan budayanya. Meskipun di antara yang diperkatakan ini sebenarnya sangat berpengaruh kepada bidang-bidang yang lainnya.

Intisari dari jati diri Melayu sejak masuk kepada agama Islam di sekitar abad ke 15 M, sebagaimana menurut pendapat termasuk dari para sarjana asing, dapatlah dikatakan sebagai berikut :
  1. Seseorang disebut Melayu apabila sehari-hari berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu dan beragama Islam. Alhasil, orang Melayu itu dapat dilihat kepada agama dan budaya.
  2. Orang Melayu selalu percaya kepada Allah SWT dan selalu mengikuti ajaran Rasulullah; hal ini diperkuat dengan peribahasa : Bergantung kepada satu, berpegang kepada yang Esa.
  3. Orang Melayu taat kepada hukum demi keamanan dan kemakmuran masyarakatnya, seperti peribahasa : Adat itu jika tidur menjadi tilam, jika berjalan menjadi payung, jika di laut menjadi perahu, jika di tanah menjadi pusaka. Atau Mati anak heboh sekampong, mati adat heboh sebangsa. Walaupun demikian, tidak berarti adat resam tiada boleh berubah. Jika ianya tiada berkesesuaian, maka hal yang sedemikian dapatlah diubah tanpa mengundang kepada perkara yang menghebohkan. Hal ini bersesuaian dengan peribahasa Melayu yang berbunyi : Sekali air bah, sekali tepian berubah. Atau Tiada gading yang tak retak.
  4. Orang Melayu mengutamakan budi dan bahasa, karena keduanya menunjukkan kepada sopan santun dan tinggi peradabannya. Seperti peribahasa mengatakan : Usul menunjukkan asal, bahasa menunjukkan bangsa. Atau Taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat karena budi. Atau Hidup dalam pekerti, mati dalam budi. Selain daripada itu, di dalam pantun Melayu juga tersirat :
    Gunung Bintan lekuk di tengah
    Gunung Daik bercabang tiga,
    Hancur badan di kandung tanah,
    Budi baik dikenang juga.

  5. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan ilmu. Hal ini tercermin dalam beberapa peribahasa yang mengambil kepada hadist Rasulullah, yaitu : Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, atau Menuntut ilmu itu sejak dalam buaian sampai ke liang lahat.
  6. Orang Melayu mengutamakan budaya Melayu, becakap tidaklah kasar, berbaju menutupi aurat, menjauhkan pantang larang dan dosa. Biarlah mati daripada keluarga menanggung malu. Orang Melayu juga pandai menjaga air muka orang lain. Kalaupun marah cukup dengan sindiran. Seperti peribahasa mengatakan : Marahkan anak, sindir menantu.
  7. Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan. Di dalam segala hal baik perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, maupun dalam pemerintahan. Bahkan nilai-nilai ini juga dilaksanakan bagi pendatang sehingga orang Melayu sangat terkenal dengan keterbukaannya. Ada pantun yang berbunyi
    Apabila meraut selodang buluh
    Siapkan lidi buang miangnya
    Apabila menjemput orang jauh
    Siapkan nasi dengan hidangnya
  8. Orang Melayu tak suka mencari lawan ataupun melawan, seperti ungkapan yang mengatakan : Pantang Melayu untuk mendurhaka. Tetapi akan melawan jika ianya terdesak, seperti pribahasa mengatakan : Musuh pantang dicari, kalau datang tidak menolak. Atau pribahasa : Alang-alang menceluk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan. Di dalam pantun diungkapkan :
    Kalau sudah dimabuk pinang,
    Daripada ke mulut biarlah ke hati
    Kalau sudah maju ke gelanggang
    Berpantang surut biarlah mati


Untuk lebih dekat lagi hendaklah kita telusuri sekalian menyimak adat resam budaya Melayu Kepulauan Riau yang di dalamnya banyak mengandungi “mutiara dan manikam” Melayu yang ada di muka bumi yang kemudiannya mengambil kepada intisarinya, patutlah ianya ditela’ah, dipelajari dan dikekalkan kepada anak cucu dan keturunan.