12. Syair Melayu

Attayaya Butang Emas on 2011-06-16

12. SYAIR MELAYU

Yang dimaksud dengan syair dalam kesusastraan Indonesia ialah sejenis puisi yang serupa bentuknya dengan pantun. Kata Syair diambil daripada bahasa Arab, tetapi arti syair yang kita kenal sekarang ini, lain dengan arti kata Arab yang berarti Penggubah atau Pengikat Sastera.

Zaman kecemerlangan syair di dalam perpustakaan Indonesia ialah di zaman pertengahan. Berpulauh buku hikayat dikeluarkan orang dari Bandar Singapura, yang berisi syair.

Diantara syair-syair yang terkenal, ialah:
  • Hikayat Abdul Muluk
  • Syair Bidasari
  • Syair Burung Bayan
  • Syair Putri Hijau
  • Syair 25 Rasul Pilihan
  • Syair Perahu
  • Syair Singapura dimakan Api.

Didalam permainan sandiwara (komedi stambul) ataupun Drama Bangsawan, syair memegang peranan penting. Pemain-pemainnya bersoal jawab dengan kalimat-kalimat yang berbentuk syair.

Syair terdiri dari beberapa bait, puluhan, bahkan ratusan bait. Dan setiap baitnya mengandungi 4 baris, dan biasanya dalam 1 baris terdapat 4 perkataan yang jumlah suku katanya berkisar antara 8 sampai 12. Dalam tiap bait tiada mengenal sampiran, jadi keempat-empat baris itulah isinya. Oleh karenanya di keempat kalimat itu sangat berkaitan erat artinya.

Keempat barisnya (rumusnya) bersajak:
…………………..a
…………………..a
…………………..a
…………………..a

Jikalau pantun dapatlah berdiri sendiri, sedangkan syair tiadalah demikian halnya. Syair harus terdiri dari beberapa syair, tergantung panjang pendeknya cerita yang hendak dikarang. Atau seberapa panjangnya surat yang hendak di kirim.

Syahdan menurut penyelidikan sejarah, syair yang tertua dalam bahasa Melayu ditemui pada sebuah batu nisan tua di Mineye Tujoh (Aceh). Kata-kata yang tertulis di situ ialah kata-kata Arab bercampur dengan India Kuno.
Berikut, barang sejenak kita lagukan dari penggalan syair Perahu.

Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Memebetuli jalan tempat berpindah
Disanalah iktikad diperbetuli sudah.

Wahai muda kenalilah dirimu,
Ialah perahu tamsil tubuhmu,
Tiadalah berapa lama hidupmu,
Ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif budiman,
Hasilkan kemudi dengan pedoman,
Alat perahumu jua kerjakan,
Itulah jalan membetuli insan.


Tiadalah lama berkekalan keadaan Syair ini, dikarenakan lama kelamaan orang merasakan bahwa keindahan syair tak lagi meresap kedalam jiwa, tiada menawan sebagai Pantun.

Kalimat-kalimat syair terasa-rasa bagai dicari-cari, dan terkadang mengada-ngada hanya untuk melengkapi persamaan bunyi pada ahkir baris. Orang hanya lebih tertarik dengan isi cerita yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian lambat laun syair terdesak hingga tersadai di pantai, dan akhirnya seakan tiada terpakai.