1.8. Masa Kemerdekaan

Attayaya Butang Emas on 2008-07-29

Diketik di Jogjakarta, 23 Juli 2008

Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, keadaan di Kepulauan Riau dan Tanjungpinang khasnya tiada menentu lagi, karena rakyat tiada tahu lagi siapa yang akan memimpin Kepulauan Riau. Bersamaan dengan itu pula diikuti dengan pembubaran perkumpulan-perkumpulan yang pernah dibuat oleh Jepang. Sedangkan tentara Jepang banyak yang mengundurkan dirinya ke Singapura. Maka keadaan Tanjungpinang dan persekitarannya kembali kacau, apalagi dengan kehadiran perompak-lanun yang membuat rakyat ketakutan. Konon, pada saat itu yang paling berkuasa adalah Kapitan Cina dan Letnan India.

Kekacauan baru agak mereda dengan kedatangan pasukan Sekutu yang kebanyakannya adalah tentara Australia, yang segera mengambil kekuasaan di Tanjungpinang. Bersama dengan itu ikut pula tentara Belanda dan pegawai sipil NICA. Sedangkan pasukan Sekutu begitu cepat menguasai Kepulauan Riau yang kemudian membentuk pemerintahan sipil dalam lingkungan Seekutu, yaitu AMACAB (Civil Administration of Allied Forces).

Dengan kepandaian Belanda, dan dengan adanya Residentie van Riouw, akhirnya menguasai Kepulauan Riau dengan residennya Dr. J. van Waardenburg meskipun ianya masih berkedudukan di Singapura. Cengkeraman kuku kekuasaan Belanda melalui tangan Sekutu di Tanjungpinang menyebabkan para tokoh dan pejuang di Tanjungpinang dan di daerah lainnya di Kepulauan Riau melakukan perlawanan bawah tanah.

Dalam masa tiga bulan setelah proklamasi dan penyerahan Jepang, tercatat ada dua perkumpulan (organisasi) bawah tanah yang muncul di Tanjungpinang, yang satu bernama JKPRR atau Jawatan Kuasa Pengurus Rakyat Riau sedangkan satunya lagi adalah BKIR atau Badan Kebangsaan Indonesia Riau. JKPRR dengan ketuanya Raja H. Abdullah Osman dengan Wakil Ketua Tengku Ahmad Atan, Sekretaris Jenderal Djaafar Huda, mempertimbangkan akan keadaan daerah maka memperbuat pusat kerjanya di Singapura. Tujuannya adalah supaya Kepulauan Riau dapat memperoleh pemerintah sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, seperti Kerajaan Riau yang dihapuskan oleh Belanda tahun 1913.

Dalam memperjuangkan kehendak rakyat itu, para pengurus JKPRR berusaha bertemu dengan pihak Sekutu dan Belanda, baik dengan Residen van Waardenburg maupun dengan Letnan Gubernur Jendral Dr. JJ. Van Mook. Mereka juga bertemu dengan Perdana Menteru Indonesia Sultan Syahrir dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim.

Sedangkan BKIR yang didirkan 10 Oktober 1945 diketuai oleh Dr. Ilyas Datuk Batuah, Wakil Ketua Raden Subarma, Sekretaris Tuanku Muda Chaidir dan anggota-anggotanya antara lain Urip St. Indera, M. Samin, Tangiran, Abd. Hamid, Abd. Wahid Encok, Osman, Raja Sagil, Raja Mohd. Yunus, ZAMAHSYARI (ayahandaku, atoknda), Sunaryo, Jakob Hasibuan, Ismet Mokhtar, Said Salim dan Syahbudin Nasir. BKIR yang berkedudukan di Tanjungpinang bertujuan antara lain untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia bahwa Kepulauan Riau adalah bagian dari Republik Indonesia. BKIR akan menjadi pemegang komando kepada tentara republik dan rakyat lainnya yang masuk ke Kepulauan Riau, juga akan menyiapkan kepada tempat Komite Nasional Indonesia untuk Kepulauan Riau, juga menjadi koordinator Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Penerangan di Kepulauan Riau, serta BKIR akan membuka perwakilannya di Singapura.

Perjuangan JKPRR untuk mendpatkan hak pemerintahan sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, tidak berhasil. Belanda hanya memberikan hak otonomi terbatas dimana kekuasaan tertinggi tetap pada Belanda. Kepulauan Riau diminta untuk membentuk sebuah dewan sementara yang akan menyiapkan pemilihan umum bertingkat, bagi membentuk satu dewan perwakilan. Akhirnya setelah mendapat nasehat dari Perdana Menetri RI Sutan Syahrir dan Menlu H. Agus Salim, tawaran Belanda itu diterima. Akhir tahun 1946 di Tanjungpinang dibentuk Dewan Riau Sementara yang tugas utamanya menyusun undang-undang dan peraturan bagi dilakukan pemilihan umum. Pertengahan tahun 1947 tugas tersebut selesai. Maka pada tanggal 4 Agustus 1947 anggota Dewan Riau hasil pemilihan umum itu dilantik. Dipilih sebagai Ketua adalah Mohammad Apan dan Wakil Ketua Mukhtar Husin.

Tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Penyerahan kedaulatan itu terjadi di mana-mana, selain acara puncak di Negeri Belanda dan pusat Republik Indonesia di Yogyakarta. Di Tanjungpinang, penyerahan kedaulatan itu terjadi antara Komandan Tritorial Belanda untuk Riau Kolonel Trebels kepada Mayor M. Akil Prawiradireja. Walaupun sudah dilakukan penyerahan kedaulatan, di Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan Kepulauan Riau, belum serta merta beralih kekuasaan kepada Pemerintah RI, karena Kepulauan Riau termasuk dalam daerah BFO (Bijzonder Federal Overleg) yang dalam RIS (Republik Indonesia Serikat) disebut Daerah Bagian Kepulauan Riau. Sampai saat itu peranan pemerintahan masih dipegang oleh Dewan Riau, dengan Mukhtar Husin sebagai ketuanya. Mukhtar Husin dalam kedudukan sebagai Ketua Dewan Riau kemudian diangkat sebagai Residen Riau menggantikan Residen Belanda yang segera meninggalkan Tanjungpinang.

Dewan Riau berjalan sampai 18 Maret 1950 dan kemudian dibubarkan setelah mendapat desakan dari para pemuda pejuang yang tergabung dalam Panitia 17 yang dipimpin oleh Zamahsyari dan Said Hamzah. Sejak tanggal tersebut, Kepulauan Riau menyatakan diri bergabung dalam Republik Indonesia, dan keputusan itu kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, tanggal 8 Mei 1950.

Dengan demikian cukuplah selintas perjalanan orang Melayu khasnya kemudian yang berada di Kepulauan Riau, sejak zaman kerajaan sehinggalah menggabungkan diri kepada Negara Kesatuan Republiki Indonesia. Sampai sejauh itu dapatlah ditela’ah bagaimana rupanya keadaan orang Melayu dalam perjalanan sejarahnya. Jika diibaratkan se-cebis kain, maka telah tercabik-cabik dek perlakuan perjalanan masa itu sendiri, baik ketika masa kerajaan sampai pada masa penjajahan yang menggerunkan. Tetapi kemudiannya, justru yang menambal sulam akan cabikan kain itu adalah daripada seni dan budaya Melayu itu sendiri yang bersandar kepada aqidah agama Islam. Ianya justru menjadi sekalung rampai bunga-bunga yang indah serta mengharum dalam kehidupan masyarakat Melayu Kepulauan Riau, hari ini!

Gedung Daerah di Tanjungpinang