1.6. Masa Penjajahan Belanda

Attayaya Butang Emas on 2008-07-27

Diketik di Jogjakarta, 22 Juli 2008

Selesai ditandatanganinya perjanjian Utrecht (Tractaat van Altoos), Belanda mulai menempatkan personilnya di Tanjungpinang. Jacob Pieter van Bram yang memimpin eskader Belanda mulai membangun Tanjungpinang yang semula adalah kubu Riau. Di bekas kubu itu dibangun benteng baru dengan menempatkan beberapa buah meriam kecil. Di atas puncak bukit dibangun satu benteng lainnya dengan persenjataan lebih banyak dan kemudian dikenal dengan Kroonprins.

Ketika eskader van Bram meninggalkan Tanjungpinang 27 November 1784, dia meninggalkan sejumlah petugas disini. Diantaranya Letnan Infantri Jacob Christian Votter, Insinyur Ricard, Letnan Laut Christian Marthen, berikut satu garnizun berkekuatan 254 orang yang dibagi dua. Di Tanjungpinang ditempatkan 182 personil, dan di Pulau Bayan 72 personil. Atas saran Insinyur Richard benteng di Pulau Bayan bekas kubu Riau yang terbuat dari susunan batang kelapa dan semen, diperbaiki dan diperbaharui.

Untuk menjaga keamanan umum, van Bram sebelum berangkat juga mengangkat dua orang tokoh Cina, yaitu Tan Kiong Sin dan Tan Sian Ko sebagai pemimpin orang-orang Cina di Tanjungpinang, dengan pangkat Kaptan (Kapten). Tan Kiong Sin sebagai Kapitan Satu dan Tan Sian Ko sebagai Kapitan Dua. Di Tanjungpinang waktu itu sudah banyak orang-orang Cina bermukim, yaitu mereka yang mulanya datang dari Melaka untuk menjadi buruh pemasak gambir dan [ekebun gambir. Mereka tinggal jauh dari pusat kota pemerintahan Riau di Hulu Riau dan Tanjungpinang.

17 Juni 1785, Belanda mengirim David Ruhde sebagai Residen Belanda yang pertama ke Riau. David Ruhde menempati kantornya di Pulau Bayan, di sebuah bangunan tua beratap daun. Tetapi pertengahan tahun 1786, David memindahkan kantor dan kediamannya ke Tanjungpinang, dan berdiam disekitar benteng di Bukit Tanjungpinang atau Kroonprins.

Bulan Desember 1786 Sultan Riau Mahmudsyah berangkat ke Melaka dan bertemu dengan Gubernur Belanda di Melaka. Mahmud disambut meriah di sana, dan mereka kemudian menandatangani perjanjian baru. Isinya antara lain bahwa Belanda diperbolehkan membangun tempatnya di Riau dan untuk itu Sultan harus membantunya. Sultan harus membangun dermaga di Tanjungpinang (dermaga itu diperkirakan adalah dermaga pelabuhan Sri Bintan Pura sekarang), termasuk menanggung biayanya. Dermaga itu kelak akan dijaga oleh orang-orang Kompeni Belanda dan tertutup waktu malam hari. Barang-barang yang keluar masuk dermaga itu, kecuali barang-barang khusus, dipungut cukai. Mahmudsyah kembali ke Riau bulan Maret 1787.

Tetapi Residen David Ruhde ternyata seorang yang kasar dan kurang menghormati para Penguasa Riau. Ia bertindak semaunya. Mengambil kayu-kayu dan hasil hutan tanpa memberitahu lebih dahulu kepada pihak kerajaan Riau. Tindakan kasar dan sombong itu menimbulkan kemarahan kepada para pembesar Riau dan timbul niat mereka untuk mengusir David Ruhde dari Riau.

10 Mei 1787, datang serangan mendadak dari sekumpulan bajak laut yang berasal dari Tempasok, Kalimantan Barat. Benteng Belanda yang dijaga satu garnizun berkekuatan hampir 200 orang digempur dan hancur. Residen David Ruhde dan serdadunya dipaksa menyerah dan diancam dalam tempo 3 hari harus segera kembali ke Melaka. Akhirnya dengan hanya pakaian sehelai sepinggang David Ruhde lari ke Melaka dan melaporkan kejadian itu kepada Gubernur Melaka.

Lanun-lanun Tempasok yang jumlahnya lebih dari 40 perahu itu selesai merusak benteng Tanjungpinang dan Pulau Bayan, segera meninggalkan Tanjungpinang. Orang-orang Belanda menuduh Sultan Mahmud dan Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau yang menyingkir ke Sukadana (Kalimantan Barat) yang menjadi dalang serangan para lanun tersebut.

Melihat situasi yang kurang menguntungkan itu dan khawatir serangan balasan ari Kompeni Belanda, Sultan Mahmud akhirnya memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan Riau dari Hulu Riau ke Pulau Lingga, jauh di selatan Pulau Bintan. Perpindahan besar-besaran ini dilakukan pada pertengahan tahun 1787. Sultan Mahmud berangkat dalam satu rombongan tak kurang dari 200 perahu ke Lingga. Sedangkan 150 perahu lainnya dipimpin Temenggung Abdul Jamal pindah ke Pulau Bulang (sekitar Batam) dan menetap di sana. Hulu Sungai Riau menjadi kosong, hanya tinggal orang-orang Cina pemasak dan pekebun gambir yang tak ikut pindah dan menguasai ladang gambir orang Bugis dan Melayu yang ditinggalkan.

Belanda sangat marah atas tindakan penyerangan para lanun Tempasok itu pada bulan Agustus 1787, Belanda kembali mengirim satu eskade dipimpin Jacob Pieter van Bram dengan tugas menghukum Sultan Mahmud dan membangun kembali benteng Tanjungpinang yang hancur. Ketika eskader Jacob van Bram tiba di Tanjungpinang, Sultan Mahmud dan penduduk Riau sudah pindah. Meskipun van Bram tahu kemana Sultan Riau itu berpindah, namun tidak memburunya. Sebaliknya segera membangun kembali benteng dan kediaman residen yang porak poranda itu. Untuk memperkuat pertahanan, kekuatan garnizun di Tanjungpinang ditambah. Pasukan infanterinya berjumlah 259 orang, artileri (pasukan meriam) 335 orang. Pada akhir tahun 1788 kekuatan Belanda di Tanjungpinang berjumlah lebih kurang 800 orang, terdiri dari berbagai etnis, baik orang Belanda maupun orang Eropa lainnya yang menjadi serdadu sewaan. Benteng Kroonprins dilengkapi dengan 22 meriam, sedangkan benteng di bawahnya 16 meriam. Untuk keperluan menjaga personilnya yang besar itu Belanda juga menempatkan dua orang dokter bedah di Tanjungpinang. Sampai tahun 1790 Belanda terus memperkuat bentengnya di Tanjungpinang dan mulai membangun Tanjungpinang sebagai pangkalan dagang dan militernya. Karena setelah amok lanun-lanun Tempasok itu boleh dikatakan tak ada lagi orang Melayu dan Bugis yang tinggal di Tanjungpinang maka penduduk Tanjungpinang waktu itu kebanyakan orang-orang Cina. Selain tetap mempertahankan sistem pemimpin kaum cina dengan pangkat Kapitan, Belanda juga mengatur soal-soal keagamaan orang Cina, termasuk membangun kelenteng, dan lainnya. Kelenteng tertua Cina di Tanjungpinang yang diperkirakan adalah kelenteng di ujung Jalan Merdeka sekarang, dibangun pada masa itu. Tetapi tahun 1795 Belanda terpaksa angkat kaki dari Tanjungpinang. Ini berkaitan dengan perkembangan politik di daratan Eropa, yaitu meletusnya Revolusi Perancis, Pangeran Oranye dari Negeri Belanda tersingkir dari takhtanya dan mencari perlindungan pada Inggeris. Supaya semua jajahan Belanda tidak jatuh ke tangan Perancis, maka William Oranye menyerahkan daerah jajahan Belanda ke bawah jagaan Inggeris. Pengambil-alihan itu berjalan damai, terkecuali di Indonesia yang memihak Republik Bataafe. Riau dan Tanjungpinang sendiri, karena dibawah kekuasaan Gubernur Belanda di Melaka, maka termasuk yang diambil alih oleh Inggeris tanpa perang. Inggeris sendiri tidak secara langsung menguasai Riau tetapi melalui Gubernurnya di Melaka menyerahkan kembali ke Riau kepada Sultan Mahmud. Pengembalian kedaulatan itu sendiri terjadi 18 September 1795, dari pejabat Inggeris Henry Newcome dan A. Brown. Namun hanya berselisih waktu beberapa jam, pada sore harinya Sultan Mahmud juga menerima surat keputusan pengembalian kedaulatan dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang dibawa oleh Sayid Abdurrahman. Dengan demikian, Riau kembali menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.

Sejak pengembalian kedaulatan itu, Tanjungpinang kembali ramai didiami oleh orang-orang Melayu dan keturunan Bugis. Engku Muda Muhammad, anak Temenggung Abdul Jamal, yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Muda Riau untuk menggantikan Raja Ali sementara waktu, memindahkan tempat kedudukannya dari Pulau Bulang ke Tanjungpinang. Tidak diperoleh catatan apakah sejak penyerahan kedaulatan itu, masih ada personil kompeni Belanda yang jumlahnya sekitar 800 orang itu di Tanjungpinang dan berdiam di komplek perkampungan mereka di sekitar Benteng Kroonprins dan Gubernemen. Namun orang-orang Melayu dan keturunan Bugis pengikut Engku Muda Muhammad mulai membangun perkampungan mereka di sekitar Kampung Tambak sekarang.

Kehidupan perekonomian dikatakan tetap berlangsung seperti masa-masa sebelumnya. Tanjungpinang mulai menjadi tempat persinggahan, terutama bagi para pedagang yang datang dari timur Sumatera, seperti Siak, Indragiri dan lainnya yang dalam perdagangan ke Melaka. Tanjunpinang dan sekitarnya menjadi penghasil gambir, sementara pedagang dari Siak membawa emas dan timah.

Tahun 1801 terjadi sengketa antara orang-orang suku Melayu, pengikut Engku Muda Muhammad dengan pengikut Raja Alim keturunan Bugis. Raja Ali yang menyingkir ke Sukadana dan kemudian ke Siantan, setelah perang Riau kini kembali lagi ke Riau karena Belanda sudah angkat kaki. Raja Ali kembali menuntut haknya atas jabatan Yang Dipertuan Muda, yang dipegang oleh Engku Muda. Karena Engku Muda tiada hendak mengalah, terjadilah perang saudara yang banyak menimbulkan korban. Karena kurang berpengalaman dalam perang dan kurang persenjataan, akhirnya Engku Muda dan pengikutnya kalah, serta menyingkir dari Tanjungpinang ke Pulau Bulang.

Atas kebijaksanaan Sultan Mahmud, akhirnya kedua belah pihak bersedia berdamai yang dikenal dengan perdamaian Bulang. Jabatan Yang Dipertuan Muda dikembalikan kepada Raja Ali. Engku Muda diangkat menjadi Temenggung Johor menggantikan ayahnya.

Namun Engku Muda menolak, dan digantikan oleh adiknya Temenggung (Tun) Ibrahim atau bergelar Daing Kecik. Engku Muda bersama kerabatnya kemudian pindah ke Singapura.

Raja Ali yang sudah menerima kembali jabatannya Yang Dipertuan Muda Riau V membuat kedudukannya di Pulau Bayan, tempat yang dulu menjadi kubu Raja Haji dan kemudian dikuasai oleh Belanda. Sedangkan Sultan Mahmud yang kemudian mengawini Raja Hamidah, anak Raja Haji segera membangun Pulau Penyengat sebagai tempat kediaman permaisurinya itu yang kemudian bergelar Engku Putri. Pulau Penyengat yang semulanya adalah kubu Riau ketika menentang Belanda dalam perang Riau. Pulau Penyengat segera menjadi perkampungan yang ramai. Apalagi setelah terjadi perang saudara, banyak penduduk Riau yang keturunan Melayu arau Bugis di Tanjungpinang pindah ke Pulau Penyengat. Tanjungpinang kembali hanya dihuni orang-orang Cina.

Tahun 1808, ketika Raja Dja’afar menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VI menggantikan Raja Ali yang meninggal tahun 1806, dia memindahkan pusat kekuasaan Yang Dipertuan Muda ke Penyengat. Sehingga Penyengat semakin ramai. Raja Dja’afar dikatakan seorang yang kaya berkat hsil usaha perdagangan timahnya ketika ia berada di Selangor. Dengan uangnya ia membangun gedung-gedung baru, membangun jalan dan parit serta pertahanan. Sehingga Tanjungpinang yang berada berseberangan dengan Penyengat tidak begitu diperhatikan dan tumbuh sendiri sebagai pusat perdagangan gambir, dan dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Cina. Raja Dja’afar ternyata seorang pemimpin yang bijak dan berjiwa seni, sehingga Penyengat tumbuh menjadi satu kota baru yang tak kalah bagusnya dengan Tanjungpinang pada waktu itu.

Tetapi tahun 1815 terjadi perubahan arus politik di dunia. Revolusi Perancis berakhir dan Inggeris harus mengembalikan lagi semua jajahan Belanda yang dikuasainya kepada Belanda. Dengan demikian Belanda kembali muncul dibekas jajahannya. Belanda muncul di Riau tahun 1818. Terjadi perjanjian baru antara Belanda dengan Sultan Abdurrahman, yang menggantikan Sultan Mahmud yang wafat tahun 1812 dan Yang Dipertuan Muda Raja Dja’afar. Melalui perjanjian itu Belanda memperoleh kembali hak-hak sebelumnya, termasuk menguasai kembali Tanjungpinang sebagai pusat perdagangan dan pangkalan angkatan perang di Selat Melaka.

Tanjungpinang sebagai tempat pemukiman penduduk semakin ramai, sebagiannya adalah pemukiman masyarakat Cina yang menjadi puat perdagangan. Pada bulan Februari 1904 terjadi kebakaran besar di Tanjungpinang, ini adalah kebakaran terbesar pertama yang terjadi di Tanjungpinang.

Setelah pindah ke Pulau Penyengat pada tahun 1900, sekitar 11 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 11 Februari 1911, Sultan Riau Abdurrahan Muazzamsyah dimakzulkan karena tiada patuh kepada Belanda. Pemakzulan itu dilakukan Residen Belanda OF de Bruinskop atas nama Gubernur jenderal Belanda, di Pulau Penyengat ibukota kerajan Riau-Lingga waktu itu, dengan cara membacakan maklumat pemberitahuan.

Sejak itu, Riau seluruhnya dikendalikan oleh Belanda dengan Residen Riau yang berkedudukan di Tanjungpinang sebagi penguasa utama. Pusat keresidenan di Tanjungpinang itu mencakup wilayah yang sangat luas. Selain pulau-pulau di Kepulauan Riau, juga termasuk Inderagiri Hilir, yaitu Kateman dan Inderagiri. Keresidenan Riau itu dibagi dalam dua afdeling, yaitu afdeling Tanjungpinang yang membawahi daerah Kepulauan Riau dan Kateman. Sedangkan afdeling lainnya adalah afdeling Inderagiri dengan ibukotanya di Rengat, yang dikepalai seorang Asisten Residen. Afdeling Tanjungpinang yang dipegang langsung oleh Residen, dibagi lagi dalam empat Onder Afedeling yang dipimpin seorang Controleur, yaitu Afdeling Tanjungpinang, Onder Afdeling Lingga, Onder Afdeling Karimun dan Onder Afdeling Pulau Tujuh.