1.5. Masa Riau – Lingga

Attayaya Butang Emas on 2008-07-26

Apabila sampai ke Riau membuatlah Raja Kecil akan istana yang berbunga lawangan emas. Mala memerintah Riau dengan segala rakyatnya yang di laut. Semakin huru-haralah Kerajaan Johor pada ketika itu tiada berketentuan.

Sementara itu Abdul Jalil yang keluar dari Johor, terus ke Terangganu, kemudian ke Pahang dan menyusun kekuatan memperbuat negeri di situ. Syahdan Raja Kecil yang mendengar cerita itu, ia mengutus beberapa kelengkapan perangnya yang dikepalai oleh Nakhoda Sekam untuk menjemput Abdul Jalil ke Riau, tetapi jika tiada mahu, sebaiknya diserang saja. Ternyata Abdul Jalil menolak untuk dibawa ke Riau. Tak pelak lagi terjadilah peperangan hinggalah suatu ketika Abdul Jalil mangkat. Kemudian jenazah Sultan Abdul Jalil dimakamkan di Kuala Pahang. Seterusnya Nakhoda Sekam kembali berlayar ke Riau dengan membawa anak raja-raja itu.


Syahdan adapun Raja Sulaiman itu tiada senang hatinya, hingga suatu ketika ia mengirim surat kepada Upu Daeng Perani bersama dengan saudara-saudaranya untuk segera melanggar Riau. Keinginan Raja Sulaiman terkabul, maka melanggarlah Upu Daeng Perani bersama angkatannya ke Riau. Dalam peperangan itu akhirnya Raja Kecil kalah dan melarikan diri ke Lingga. Sementara Raja Kecil terus mengalami kekalahan demi kekalahan dalam setiap peperangan, dan juga berkat nasihat isterinya Tengku Kamariah, maka kemudian Raja Kecil menghentikan peperangan, dan memperbuat kerajaan di Siak (1725-1748).

Maka sejak saat itu, keputusan dalam kerajaan tidak lagi mutlak kepada perkataan seorang Sultan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan antara pihak Sultan Sulaiman dengan Upu-upu dari Bugis. Yaitu Sultan disebut sebagai Yang Dipertuan Besar sedangkan dari pihak Upu-upu mendapat gelaran Yang Dipertuan Muda.

Sementara itu, pengaruh dan cengkeraman daripada kuku-kuku berbisa Holanda sudah terasa dan masuk ke dalam sendi kehidupan pemerintahan kerajaan, ketika Riau berada di puncak kegemilangannya semasa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau ke IV RAJA HAJI.

Pada tahun 1722 M, Raja Sulaiman dilantik sebagai Sultan Riau – Lingga dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan wilayah kekuasaan yaitu pulau-pulau di Riau, Bintan, Siantan, Tambelan, Singapura, Johor, Selangor, Trengganu, Pahang dan Indragiri. Mulai tahun 1722 M ini nama kerajaan berganti dengan nama Kerajaan Riau – Lingga. Dan sejak itulah, kerajaan tersebut berkembang, walaupun di dalamnya bukan tiada kepada pertentangan dengan pihak Belanda yang telah ikut campur tangan, tetapi kerap kali terjadi pertelingkahan dari dalam sendiri.

Dikarenakan perseteruan dengan Belanda dan melihat situasi yang kurang menguntungkan itu, Sultan Mahmud akhirnya memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Lingga. Perpindahan itu terjadi pada pertengahan tahun 1787 M. sultan Mahmud berangkat dalam satu rombongan tak kurang dari 200 perahu ke Lingga. Sedangkan 150 perahu lainnya dipimpin Temenggung Abdul Jamal pindah ke Pulau Bulang (sekitar Batam) dan menetap di sana. Hulu Sungai Riau menjadi kosong, hanya tinggal orang-orang Cina pemasak dan pekebun gambir yang kemudiannya menguasai ladang gambir yang ada.

Tangga untuk menuju Istana Damnah di Daik Lingga


Istana Damnah


Istana Bilik 44 di Daik Lingga


Jikalau melihat dari perkembangan Kerajaan Riau – Lingga dari tahun 1722 – 1784 M lebih kepada kegiatan perdagangan (ekonomi). Diantaranya penyusunan dalam aturan perdagangan. Hubungan dagang berbagai bangsa asing dan kerajaan lain seperti India (Benggala), Cina, Siam, Jawa, Bugis dan lain sebagainya. Sehinggalah menyebabkan perdagangan berkembang kembali. Hasil utama perdagangan pada masa itu adalah gambir yang diperbuat sejak jamam pemerintahan Yang Dipertuan Muda II Daeng Celak (1729-1746 M). Bibit gambir itu berasal dari dataran Sumatera yang dijemput oleh Penggawa Tarum dan Penghulu Cedun. Ladang-ladang gambir itu banyak dimiliki oleh orang-orang Melayu dan Bugis. Sedangkan hasil perkebunan gambir itu diolah oleh orang-orang Cina. Keadaan tersebut terus berkembang sampai masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda III Daeng Kamboja.

Sebenarnya selain dari perdagangan, di masa Kerajaan Riau-Lingga kehidupan lainnya juga ikut berkembang marak, seperti halnya kehidupan agama dan seni budaya. Hal ini dapat digambarkan melalui Tuhfat al-Nafis,

“Syahdan adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji yang menjadi Yang Dipertuan Muda itu, maka makin bertambah-tambah ramainya Negeri Riau serta makmurnya, dan orang Riau banyaklah yang kaya-kaya, dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis, dan beberapa pula kapal dan kici, dan wangkang-wangkang berpuluh-puluh buah yang berlabuh di dalam Negeri Riau, dan pulang pergi berniaga di dalam Riau. Apalagi perahu-perahu Bugis-bugis dan perahu-perahu Jawa dan tob-tob Siam beratus-ratuslah yang berlabuh, istimewa pula perahu-perahu Bentan jangan dikata lagi, bercocok ikanlah daripada kuala hingga sampai ke Kampung Cina. Shahadan Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda dan banyaklah mendapat hasil-hasil dan cukai-cukai dan antaranya Cina wangkang, dan tob Siam itu daripada pinggan mangkuk, dan piring-piring yang halus-halus dan kasar, beberapa gedong, apalagi kain perbuatan Cina seperti diwangga dan kemika, dan belakang parang dapatnya didalam setahun angin, dan segala segala tuan-tuan Sayed pun banyaklah datang dari Tanah Arab. Apalagi Lebai Jawa, hingga penuhlah tempat dirumah wakaf dan mesjid dan segenap surau, orang-orang Besar dan kaya itu. Apabila hari Jum’at berkumpullah orang ke dalam semuanya maulu-dannabi, selesai daripada maulud, memberi sedekah. Ada yang dapat jaktun, ada yang mendapat ringgit, ada yang mendapat rupiah dan lain-lain daripada malam Jum;at itu. Beberapa pula permainan yang bermain seperti joget, dan wayang.”

Tidak hanya itu saja, kehidupan agama dan budya justru berada dipuncaknya ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Walaupun kekuasaan secara politis telah berkurangan tetapi kedaulatan atas adat istiadat, agama dan budaya, tetaplah Belanda tiada boleh mencampuri. Keadaan yang sedemikian itu dimanfaatkan oleh penguasa Riau untuk dikembangkan, sehingga Riau mampu bangkit sebagai salah satu perkembangan ilmu dan budaya Melayu di rantau semenanjung Tanah Melayu dan Timur Nusantara, dan pusat pengembangan itu berada di Pulau Penyengat.

Bidang budaya yang sangat pesat pertumbuhannya adalah Bahasa Melayu. Apalagi setelah adanya Traktat London (1824) yang telah membagi daerah awal kerajaan Riau-Lingga menjadi dua bagian.

Makam Raja Ali Haji di Penyengat


Makam Raja Ali


Makam Engku Putri Raja Hamidah


Daerah yang berada di semenanjung Tanah Melayu seperti Johor, Pahang dan Trengganu masuk dalam kekuasaan Inggeris, sedang Riau dan sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Belanda. Pembagian kekuasaan yang semena-mena tersebut memisahkan hubungan adat-istiadat, bahasa dan agama bagi bangsa serumpun itu, sehingga kemudian menimbulkan perbedaan perkembangan yang jauh.

Di Riau, dengan berpusat di Pulau Penyengat, budaya dan Bahasa Melayu dikembangkan sedemikian rupa dengan menerbitkan berbagai buku. Salah seorang tokoh yang sejak awal begitu rajin sekali sebagai pengarang adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, putera tertua Raja Haji Fisabilillah, beliau telah menulis beberapa syair, antara lain Syair Engku Puteri, Syair Perang Johor, Syair Raksi dan membuat kerangka tulisan untuk buku Tuhfat al-Nafis (Anugerah Yang Berharga) yang kelak diteruskan oleh anaknya RAJA ALI HAJI.

Makam Sultan Mahmud Syah (Marhum Mesjid)


Makam Yang Dipertuan Muda Raja Ja'far bin Raja Haji


Makam Sultan Abdul Rahman (Marhum Bukit Cengkeh)


Makam Raja Muhammad Yusuf


Kemudian Raja Ali Haji, adalah seorang tokoh budaya yang termasyhur dan cukup lengkap kepandaiannya. Beliau seorang pujangga, seorang ahli siasat dan politikus, seorang ulama dan seorang ahli bahasa. Dari tangannya telah menghasilkan karya-karya besar yang mendunia.

Pesatnya perkembangan bahasa, budaya dan agama diikuti dengan berbagai hasil karya berupa buku-buku tersebut, antara lain karena di Penyengat berdiri percetakan kerajaan yaitu MATBAATUL RIAWIYAH (1894). Adanya percetakan tersebut menyebabkan karya-karya para cerdik pandai Riau waktu itu dapatlah segera dicetak dan disebarluaskan. Kemudiannya lahir pula sebuah perkumpulan para cerdik pandai Riau yang diberi nama Rusdiyah Klab. Perkumpulan ini merupakan tempat berhimpun para cerdik pandai Riau yang melahirkan karya-karya tulis mereka, juga merupakan tempat membahas berbagai perkembangan pada waktu itu.

Di dalam sejarah Melayu semasa Kerajaan Riau-Lingga maka tercatatlah nama-nama Sultan (Yang Dipertuan Besar) yang pernah memerintah dan nama-nama Yang Dipertuan Muda (1722-1911).

SULTAN YANG DIPERTUAN BESAR :
1. Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760). Wafat di hulu Riau dan dimakamkan di Kampung Melayu km-6.
2. Abdul Jalil Syah (1760-1761). Wafat di Selangor dan dimakamkan di Hulu Riau.
3. Ahmad Syah (1761-…..). Wafat di Hulu Riau.
4. Mahmud Syah (1761-1812). Wafat di Daik Lingga, dikenal dengan sebutan Marhum di Lingga.
5. Abdurrahman Syah (1812-1832). Wafat di Daik Lingga, dikenal dengan sebutan Marhum Bukit Cengkeh.
6. Muhammad Syah (1832-1842). Wafat di Daik Lingga.
7. Mahmud Muzaffar Syah (1842-1858). Wafat di Pahang, beliau dimakzulkan oleh Belanda karena dianggap menentang Belanda.
8. Sulaiman Badrul Alamsyah (1858-1883). Wafat di Daik Lingga.
9. Abdurrahman Muazzam Syah (1883-1911). Wafat di Singapura. Beliau juga dimakzulkan oleh Belanda karena melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Belanda dan dianggap menentang Belanda.

SULTAN YANG DIPERTUAN MUDA RIAU :
1. Daeng Marewa (1722-1729). Wafat di Sungai Baharu (Hulu Riau) dimakamkan di sana.
2. Daeng Celak (1729-1746). Wafat di Pulau Petung dan dimakamkan di Hulu Riau.
3. Daeng Kamboja (1746-1777). Wafat di perjalanan dari Selangor ke Riau, dan dimakamkan di Gudang Minyak, Tanjungpinang.
4. Raja Haji Fisabilillah (1777-1784). Gugur di Teluk Ketapang dalam perang melawan Belanda. Dimakamkan di Penyengat.
5. Raja Ali (1784-1806). Wafat di Pulau Bayan dan dimakamkan di Tanjung Unggat.
6. Raja Djaafar (1808-1832). Wafat di Daik Lingga dan dimakamkan di Penyengat.
7. Raja Abdurrahman (1832-1844). Wafat dan dimakamkan di Kampung Bulang, Penyengat.
8. Raja Ali (1844-1857). Wafat dan dimakamkan di Penyengat.
9. Raja Abdullah (1857-1858). Wafat dan dimakamkan di Penyengat.
10. Raja Mohd. Yusuf al-Ahmadi (1858-1899). Wafat dan dimakamkan di Daik Lingga.
11. Raja Abdurrahman, merangkap sebagai Sultan Riau-Lingga (1899-1911). Wafat dan dimakamkan di Singapura.

Catatan :
Kerajaan Riau-Lingga berdiri pada 4 Oktober 1722 dan runtuh 11 Pebruari 1911. Secara resmi dihapuskan Belanda dari administrasi pemerintah mereka tahun 1913.