7. Musik dan Nyanyian : Nobat DiRaja

Attayaya Butang Emas on 2010-04-06

NOBAT DIRAJA

Di antara alat-alat musik tradisional Melayu ada seperangkat alat musik Melayu yang disebut Angkatan Nobat Diraja, di mana alat-alat musiknya dianggap sakral dan lagu-lagunya tidak boleh dimainkan sembarangan, bahkan alat-alat musiknya tidak boleh dilangkahi dan pemain-pemainnya adalah orang-orang yang masih berketurunan untuk itu atau keluarga dari orang-orang yang telah di tunjuk untuk menjadi pemusik Nobat Diraja.

Sejak abad ke-13, raja-raja di Pasai sudah memakai musik nobat, dan beberapa kerajaan Melayu pada waktu dahulu yang memakai musik nobat adalah Kerajaan Riau-Johor-Lingga, Kerajaan Siak, Pelalawan, Kerajaan Panai, Bilah, Asahan, Kualuh dan Kota Pinang. Adapun di Kerajaan Riau, musik nobat adalah merupakan salah satu alat kebesaran (regalia) kerajaan. Tanpa musik nobat, tiadalah syah seorang raja itu dinobat tabalkan.

Sedangkan Nobat itu sendiri adalah bahasa Persia yaitu “nau” dan “bat”. “Nau” berarti Sembilan, sedangkan “bat” berarti alat musik (instrument). Maksudnya adalah 9 alat musik, karena jumlah alat musik nobat itu sendiri berjumlah Sembilan.

Alat-alat tersebut ialah :
  • Satu buah gendang besar yang disebut “Negara” (nekara, nahara, Negara) berkulit di satu sisi saja. Dalam bahasa Arab disebut “Naqarat”. Bahasa Turki “Kudum” dan India “Nakara”. Alat gendang ini dipukul dengan sebatang kayu.
  • Satu buah alat tiup seperti terompet yang disebut dengan nama “Nafiri” yang panjangnya kira-kira 33 inci.
  • Duah buah “Serunai” panjangnya 17 inci.
  • Dua buah gendang panjang yang 2 sisi kulitnya disebut “gendang Nobat” (20 inci).
  • Dua buah “kopok-kopok” atau semacam Kesi.
  • Satu buah “Gong Maha Guru” yang digantungkan di sebatang buloh untuk upah semangat.

Angkaran Nobat dimainkan ketika Raja akan ditabalkan atau Raja akan dimakamkan, atau Raja akan berangkat dalam suatu upacara resmi atau pada Hari Raya dan Pembukaan Puasa.

Pada masa kegemilangan kerajaan Riau-Johor, lagu-lagu nobat yang dimainkan adalah menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Maka, siapa saja mendengarkan tiupan Nafiri hendaklah dengan serta merta duduk, seakan-akan Raja sendiri yang sedang berdiri dihadapannya. Setelah tidak terdengar tiupan, barulah boleh berjalan semula. Adapun yang boleh dibunyikan nobat ialah kepada Sultan, Yang Dipertuan Muda, Bendahara dan Temenggung saja (masing-masing 32 kali, 11, 9 dan 7 kali tiupan Nafiri).

Adapun lagu-lagu Nobat Sultan ialah:
  1. Lagu “Iskandar Syah Zulkarnain” (Lagu Ria yang diiringi dengan lagu perang), dimainkan ketika Raja berarak ke Balairungseri untuk ditabalkan.
  2. Lagu “Ibarahim Khalilullah”, lagu yang dimainkan ketika Raja ditabalkan dan Sitiadat Menjunjung Duli.
  3. Lagu “palu-palu”, ketika Raja bersiram tabal sesudah dipalu lagu “Perang”.
  4. Lagu “Sri Istana”, ketika Raja memakai pakaian kebesaran Kerajaan.
Menurut ceritanya, lagu dan adat istiadat ini diperoleh turun temurun sejak Raja Perempuan menobatkan Sri Tri Buana menjadi raja di Singapura (Tumasik). Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, lagu nobat yang datang dari tanah Arab melalui India (Malabar) ketika hendak menabalkan Merah Silu Raja Samudra Pasai bergelar Sultan Malik As-Saleh pada awal abad 13.