4. MakYong

Attayaya Butang Emas on 2010-01-24

Menurut kisah yang diceritakan Pak Man (Abdul Rahman di Mantang, Arang, Kabupaten Kepulauan Riau pada 1972), seni pertunjukkan Makyong berasal dari tiruan permainan yang dilakonkan oleh harimau jadi-jadian. Beginilah kisahnya.

“suatu hari adalah lelaki yang pergi masuk hutan dan tersesat. Untunglah ia berjumpa sebuah kampung dan orang yang tinggal di ujung kampung itu, berbaik hati mengajaknya bermalam di pondoknya. Setelah selesai makan, tuan rumah berpesan, “Jangan kemana-mana. Jangan pergi ke luar rumah. Tutup pintu-tingkap dan tidurlah, saya ada kerja sedikit”. Hari pun malam. Begitu hari malam. Orang kampng itu berubah menjadi (ha)rimau semuanya. Lalu terdengar bunyi gong dan tambur, amatlah bagus bunyinya. Orang yang sesat tadi mengintip dari celah-celah dinding. Rupanya (ha)rimau jadi-jadian itu sedang bersenang-senang dengan suatu permainan penghibur hati, pengobat penat di siang hari. Begitu permainan selesai, mereka pun letih dan terkapar tidur sampai tak sempat mencium bau manusia.

Besoknya orang yang sesat tadipun balik ke kampungnya. Permainan (ha)rimau jadi-jadian itu ditirunya dan dimainkannya di kampungnya. Itulah asal mulanya Makyong, konon. Entahlah ya entahkan tidak, begitulah yang diceritakan orang tua-tua dulu kepada saya”.
(Hasan Junus, “Dengan Makyong di Suatu Senja”, Suara Karya Minggu, 23 Juli 1972).

Jadi tempat asalnya permainan Makyong menurut seorang yang terlibat, langsung dalam permainan Makyong ialah kampung harimau jadi-jadian. Di negeri mana, di daerah mana, diwilayah mana, dan di kawasan mana taklah penting bagi mereka. Ruang dan waktu bagi masyarakat yang berpikir secara mistis, dan mistis akan menjadi jauh apabila tiada menurut kepercayaan yang dipegang, sebaiknya akan dekat dan akrab jika setia pada kepercayaan tersebut.

Menanyakan negeri asal Makyong sama dengan menanyakan di manakah Kerajaan Kembayat dalam Syair Siti Zubaidah. Apabila dinyatakan nama tempatnya yaitu Negeri Kamboja (dan Siam untuk Makyong).

Jika hendak dibandingkan tentang hal tersebut di atas misalnya dapat dilihat bagaimana suatu aliran persilatan yang cukup masyur, oleh para pendukungnya dinyatakan secara verbal, kokoh, dan tegas seperti simpul mati suatu ikatan tali, berasal dan diajarkan langsung dari Sayidina Ali. Seperti itu pulalah pendapat orang yang menyatakan bahwa Makyong di Kelantan sebenarnya berasal dari Nabi Adam.

Tentulah sikap keilmuan tak seperti itu. Henri Chambert-Loir pernah datang ke Pulau Tujuh dalam sebuah Festival Mendu dan memberikan teks Hikayat Dewa Mendu kepada beberapa pendukung seni pertunjukkan mendu. Dan mereka menolak untuk menerima teks itu (pertemuan dengan Henri Chambert-Loir di Penyengat, Juni 1981) karena bagi mereka Mendu tidak berdasarkan teks manapun, dan seni pertunjukkan Mendu tak datang dari mana-mana, tetapi memang diwariskan oleh orang tua-tua mereka sendiri.
Para pencatat, peneliti, atau pengkaji seni pertunjukkan Makyong seperti Walter Skeat (1976) tentulah bersikap sesuai dengan alur keilmuan sehingga berbeda dengan sikap orang-orang seperti Pak Man. Pak Atan dan orang-orang tua lainnya. Mereka berusaha mencari di mana tempat asal dan bagaimana terjadinya sampai ke tempat yang mengebangkannya, karena catatan, penelitian, atau pengkajian tentang perjalanan dan perkembangan budaya sangatlah penting bagi para peneliti itu. Dilihat dari beberapa macam ritual yang bersebati dengan seni pertunjukkan Makyong ada peneliti/pengkaji yang memperikarakan bahwa Makyong berasal dari kepercayaan animisme dan terpakai dalam pengobatan tradisional. Hal ini dapat terlihat dari lambang-lambang yang dipergunakan, yang menjurus kepada shamanisme. (Ghulam Sarwar Yousof, 1979)

Kata Makyong, menurut mereka, mungkin sekali berasal dari Mak Hyang, yaitu semangat induk padi yang dipuja serta sangat dihormati oleh masyarakat agraris-animis. Pemujaaan dan penghormatan kepada semangat induk padi itu tergambar pula pada upacara memberi “semah” atau membuat sajian bagi bermacam-macam makhluk halus yang senantiasa menyertakan tiga jenis olahan padi yang terdiri atas bahan berikut:

1. Beras basuh, yaitu beras pilihan yang tidak patah, tidak bernatah, dan sudah bersih dari kulit ari dan segala macam daki tanaman.
2. Beras kunyit, yaitu beras yang dikuningkan dengan kunyit.
3. Bertih, yaitu padi yang digongseng atau digoreng tanpa minyak

Sangat banyak mantera, jampi, atau serapah Melayu yang memperlihatkan rasa hormat kepada semangat induk padi dengan pelbagai nama. Salah satu dari mantera itu yang dibaca ketika berada di depan junjugan padi berbunyi seperti ini:
Assalamualaikum
Nabi Tap yang memegang bumi
Aku tahu asalnya padi
Seri Gading Gemala Gading yang diujung ladang
Yang terpercik yang terpelanting
Yang diorong-orong oleh semut silambaba
Hai Dang Pok, Dang Malini
Dan Selamat Menyandang galah
Bertepuk bertimbun Dayang kemari
Selamat rezeki diberi Allah

Dang (Wan) Pok dan Dang (Wan) Malini ialah dua orang perempuan yang berladang di tanah asal orang Melayu di Bukit Siguntang yang pada suatu malam melihat padi di ladangnya berubah menjadi emas sebagaimana dikisahkan dalam sejarah Melayu. Padi yang berubah menjadi emas agaknya menjadi dasar tradisi dengan beras kunyit yang dipakai secara luas dalam kebudayaan Melayu. Kedua tokoh wanita yang sangat terkenal itu disebut dalam beratus-ratus mantera, semuanya berhubungan dengan padi.

Dalam kebudayaan Melayu dikenal pula banyak sekali makhluk halus seperti hantu, jin, orang Bunian, mambang, peri, dsb. Jenis-jenis hantu saja antara lain ialah hantu tepok, hantu dapur, hantu jembalang, hantu gunung, hantu air, hantu sungai , hantu laut, hantu pelak, hantu denai, hantu hutan , hantu baran, hantu sawang, hantu songkai, hantu bidai, hantu bandang, hantu siluman, hantu jerambang, hantu angin, hantu ribut, hantu golek, hantu jerangkong, hantu raya, hantu kongkong ngeangngeang, hantu langsuir, hantu dongak, hantu belian, hantu loyang, hantu jinjingan, hantu tenggolong, hantu ikat lima, hantu menyangan, hantu pelesit, hantu serindai, hantu doman, hantu kopek, hantu bajang, hantu halimun, hantu penunggu dan lain-lain. Ada beberapa macam jenis hantu di antaranya yang dijumpai dalam kaitan Makyong, di luar atau di dalam cerita-ceritanya.

Dalam bentuknya yang baku, Makyong ialah suatu macam seni pertunjukkan yang membancuh cerita pentas, tari, nyanyi, dan musik menjadi satu. Bentuk kesenian ini dadulunya dikenal di seluruh negeri berkebudayaan Melayu. Paling tidak setiap kerajaan Melayu pernah dikunjungi oleh sekelompok seni pertunjukkan Makyong. Sekarang bentuk kesenian ini masih dapat dijumpai di Kepulauan Riau dan Kelantan.

Penilik Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Kepulauan Riau pada antara 1970-1980 masih mencatat di tempat-tempat yang memiliki perkumpulan seni pertunjukkan Makyong di Kepulauan Riau, yaitu pada lima tempat:

1. Mantang Arang
2. Rempang/Sembulang
3. Dompak
4. Kasu
5. Pulau Buluh